Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Berita > Rektor UM Jakarta: Internalisasikan Hukum Islam dalam RUU KUHP

Homepage

Rektor UM Jakarta: Internalisasikan Hukum Islam dalam RUU KUHP

Senin, 16-11-2015
Dibaca: 1099

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi kunci dalam upaya reformasi hukum di Indonesia. KUHP lama masih kental dengan warisan kolonial Belanda. Menurut Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Dr Syaiful Bakhri, internalisasi hukum Islam dan adat terakomodasi de ngan baik. Pada umumnya, norma-norma dalam ran cangan KUHP itu sesuai dengan Islam. Internalisasi itu dinilainya bukan bentuk eksklusivitas. "Bukan eksklusif. Tidak ada eksklusif. Karena itu, mesti dibahas di parlemen," katanya pada sela-sela kunjungannya ke kantor Republika, Kamis (12/11). Berikut perbincangan dengan penyabet gelar doktoral bidang hukum Universitas Islam Indonesia (UII) itu:


Seperti apa nasib hukum Islam dan adat dalam perundang-undangan kita saat ini?
Kalau kita melihat dari lintasan sejarah, sesungguhnya hukum asli Indonesia ini hukum adat. Hukum adatnya ini sudah beradaptasi dengan hukum Islam sejak masuknya Islam pada abad ke-7. Nah, hukum kita kocar-ka cir ketika kolonialisme masuk. Ketika kolonialisme masuk, selain kolonialisme di bidang perdagangan yang dibawa korporat besar pada masa itu, VOC juga menumpang dengan membawa misi hukum (hukum Eropa) dan bahkan misionaris.

Nah, dengan hukum Eropa itu, mereka berhasil menggeser perlahan-lahan hukum adat dan hukum Islam. Padahal, sebelum kolonialisme datang, kita sudah masyarakat berhukum dengan ketaatan pada adat istiadat dan moral Islam. Keadaan Indonesia sangat baik, tidak ada konflik. Ada peradilannya. Ada hukum pidana dan perdata. Begitu masuk kolonialisme membawa peradaban baru, saat itulah pertama kali terjadi pertentangan. Hukum tidak dijadikan sebagai primadona. Hukum dijadikan sebagai alat untuk mengkriminalisasi pejuang-pejuang kita.

Lantas, apakah pernah muncul upaya restorasi hukum asli kita?
Pernah muncul melalui fakultas hukum pertama pada masa sebelum Indonesia merdeka, yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Hukum, yang sekarang Fakultas Hukum UI. Itu pada masa 1920-an, didirikan oleh orang- orang Indonesia yang berpendidikan hukum Belanda. Lembaga itu menyuarakan bahwa hukum adat kita itulah hukum asli Indonesia. Dikampanyekanlah UI sebagai gerakan awal untuk mendedikasikan hukum asli itu. Kemudian, ada juga universitas yang la hir setelah kemerdekaan, yang kemudian dinasionalisasi menjadi universitas negeri. Yakni, Universitas Gadjah Mada. Sampai sekarang, pendidikan hukum lebih pada kemahiran-kemahiran hukum, tidak pangkal tolak pada historis filosofis lagi. Hal itu menyebabkan keadaan seperti sekarang ini.
Sarjana hukum yang lahir sekarang, sarjana hukum yang berwatakan westernisasi. Sedikit sekali memahami mengenai hukum Islam.

Tetapi, universitas-universitas Islam tetap mempertahankan kaidah-kaidah hukum Islam itu. Mereka berhasil jugalah secara perlahan-lahan meletakkan suatu fondasi bahwa ada hukum adat dan hukum Islam yang sangat penting sebagai hukum asli bang sa Indonesia. Sementara, kaidah-kaidah hukum lain itu dibawa oleh masyarakat global. Yakni, common law dan civil law.

Seperti apa intervensi hukum kolonial dalam sistem hukum kita?
Masih. Kita kan civil law. Kita tidak bisa membuang itu. Saya contohkan, KUHP kita dibangun oleh mereka. Revisinya lama. Indonesia merdeka 70 tahun masih memakai hukum kolonialisme. Masih civil law. W alaupun di berbagai aktivitas lain, common law juga memengaruhi. Misalnya, dalam hukum dagang. Jadi, sudah terjadi pertautan antara common law dan civil law. Dan, untuk hukum akan datang itu dipengaruhi juga oleh hukum adat/Islam.
Jadi, Indonesia sekarang sedang dalam perkecamukan, dalam ide dan pemikiran mengenai hukum.

Konsep seperti apa yang ditawarkan dalam RUU KUHP sekarang?
Kalau dengan KUHP yang sekarang banyak perbedaannya. Banyak sekali bedanya. Karena itu kan rancangan hukum dari Prancis dan Belanda. Saya tidak bisa me nyebutkan satu-satu. Sifatnya saja, kalau KUHP yang lama itu kolonial. Dalam revisi yang sekarang sudah lebih menyesuaikan dengan bangsa Indonesia yang merdeka, sesuai dengan masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim. Rancangan sekarang lebih berkaitan lagi dengan hukum adat dan agama.

Norma-norma dalam rancangan yang baru itu sesuai dengan agama. Jadi begini, pem buat naskah RUU KUHP sekarang itu kebanyakan adalah ahli hukum pidana. Lalu, diperluas dengan sosialisasi ke universitas- universitas Islam, seperti UIN. Diberikanlah masukan-masukan. Pada umumnya, norma- norma yang ada itu dalam rancangan KUHP itu sesuai dengan Islam. Misalnya, dilarang membunuh dan sebagainya. Itu sesuai dengan hukum Islam. Karena itu telah mendapatkan masukan dari hukum Islam, rancangan KUHP itu mengandung kaidah itu. Kemudian, tidak hanya itu, dalam rancangan itu juga telah memasukkan hukum adat sebagai hukum kebiasaan.

Dalam rancangan yang sekarang itu sudah diberi masukan oleh banyak ahli hukum Islam dari berbagai universitas Islam. Setelah itu, materi muatannya disesuaikan dengan hukum Islam. Maka, hampir semua muatannya sudah bernapaskan dengan kaidah-kaidah fikih. Rancangan itu banyak sekali. Hampir 600 pasal, saya tidak bisa menyebutkan satu-satu. Itu sudah sesuai dengan kaidah hukum Islam. Walaupun, negara kita bukan negara bedasarkan agama. Jadi, pandangan para ahli fikih itu sudah direspons di dalam rancangan KUHP. Jadi, rancangan KUHP itu boleh dikatakan secara umum sudah bersesuaian dengan kaidah hukum Islam.

Sejauh mana progres internalisasi hukum Islam itu? Apa kendalanya?
Sekarang revisi itu sudah selesai, secara akademis. Tinggal keputusan politik di parlemen. Ya, parlemennya dari masa ke masa kan begitu-begitu terus. Prosesnya sudah di DPR. Presiden dan Menkumham sudah menyerahkan kepada DPR, lalu DPR sudah mulai memprioritaskan untuk dibahas. Itu sejak era SBY sudah begitu posisi standing-nya. Tapi, berganti orang, berganti juga semangatnya. Sekarang masih tahap pembicaraan-pembicaraan pendahuluan saja, tidak sampai pembahasan materinya. Kendalanya, keinginan politik bangsa kita. Parlemen dan pemerintah kan tidak begitu serius ini. Kalau dia serius, mungkin sudah bisa jadi prioritas. Padahal, dikatakan legislasi KUHP dan KUHAP itu menjadi prioritas, tapi kenyataan tidak.

Padahal, yang terpenting saat ini adalah nasionalisasi hukum, reformasi hukum dengan mengubah KUHP. Kalau itu berhasil, yang lain dengan sendirinya akan berubah. Karena KUHP ini bukan undang-undang sembarangan. Dia adalah kitab. Undang- undang tentang kitab undang-undang hukum pidana. White book. Kalau orang hukum, ini kitab sucinya. Kitab sucinya harus di-reform. Saya ingin mendorong supaya legislator segera membahas ini.

Bagaimana dorongan dan upaya umat terkait itu?
Masyarakat sebenarnya juga sudah mem berikan dorongan, tapi dalam bentuk- bentuk memberi anjuran saja kan. Seminar- seminar di berbagai fakultas hukum seluruh Indonesia. Hasilnya, revisi KUHP segera dibahas. Tetapi, dalam sistem politik kita, yang menentukan itu kan DPR. DPR berkewajiban untuk membahasnya sedangkan pemerintah sudah selesai membuat drafnya.

Pemerintah punya ahli hukum pidana, dari tahun ke tahun sudah menyiapkan naskah itu. Tapi, kalau tidak pernah dibicarakan, tidak pernah diberikan prioritas untuk dibahas kan amat sulit juga. Sistem perundang-un dangan kita itu, yang berkewajiban DPR. Kewenangannya ada pada legislator. Khususnya, Komisi II. Maka, media massa diharapkan mendorong supaya ini segera dibahas. Kalau dibahas kita punya hukum nasional yang bagus. Ini bukan hanya hokum, tapi undang-undang.

Sejauh mana urgensi internalisasi itu?
Sangat penting. UU itu kan harus mengakomodasi masyarakat, hukum adat, agama, dan sebagainya. Mungkin bisa melihat rancangan KUHP di DPR. Implikasinya, bila rancangan KUHP itu tidak diundangkan, keadaan hukum akan seperti ini saja.

Penting. Kita akan punya hukum dengan semangat baru. Maka, karakter-karakter lama akan berubah. Punya UU baru dengan semangat, paradigma, dan pakta-pakta yang baru sehingga dalam menyelesaikan masalah hukum juga berbeda dengan keadaan sekarang. Itu disebut dengan budaya berhukum nasional.

Bukankah internalisasi hukum Islam ke KUHP bentuk sekteranisme yang eksklusif?
Bukan eksklusif. Tidak ada eksklusif. Karena itu, mesti dibahas di parlemen. Kalau dibahas akan ada argumentasinya. Jangan ketakutan dengan eksklusivitas. Tidak ada. Yang sensitif itu kan orang non- Islam. Muslim tidak. Kalau materi hukum ini diungkap di parlemen saya kira tidak ada lagi sensitif itu.

Tapi, kalau belum diungkap, akan ada yang bilang itu cenderung politik primordial. Padahal, tidak ada. Rancangan itu sudah banyak juga disesuaikan dengan keadaan internasional. Tapi, kalau disembunyikan saja, tidak pernah dibahas, nanti isu politiknya mengatakan ini sangat Islami. Sangat eksklusif. Kalau menurut saya, ya wajarlah. Indonesia adalah masyarakat dengan penduduk Islam terbanyak. Tidak menyebutkan bahwa ini syariat, tidak. Ini hukum nasional yang norma-normanya sudah disesuaikan. Ini bukan negara Islam. Ini negara pancasila. Tidak menyesuaikan Islam, tapi menyesuaikan norma Islam. Tidak menyebutkan qisas, diyat, dan sebagainya.

Penerapan KUHP saat ini jauh dari asas keadilan, bagaimana filosofi hukum Islam dalam konteks tersebut?
Filosofi hukum Islam itu membuat orang bahagia dunia akhirat. Orang dihukum sesuai dengan kesalahan dan hukumannya men cerminkan supaya orang selesai pembalasannya. Bahagia dunia akhirat. Supaya, masyarakat aman, tertib, serta berkeadilan. Saya tidak ahli hukum Islam. Secara umum, tujuan hukum Islam agar sejahtera lahir batin. Kalau perkara-perkara ringan seperti itu bisa dimaafkan, namanya restorative justice.

Untuk mencetak sarjana hukum Muslim, apa saja kendala dalam pendidikan hukum di Indonesia sekarang?
Kurikulumnya, dosennya. Kalau dosennya bagus, mahasiswanya bagus. Kalau perguruan tinggi negeri, itu kan universitas yang pemerintah punya. Orang masuk dengan seleksi yang bagus. Seleksi yang luar biasa. Jadi, mahasiswa yang diterima di sana yang hebat-hebat. Dosennya tidak perlu hebat. Dosennya tinggal menggerakkan saja. Tetapi, kami swasta pada umumnya, menerima mahasiswa dengan tanda kutip. Seleksinya tidak sekeras dan seketat perguruan tinggi negeri. Maka, kami ingin dosennya yang hebat. Kalau dosennya hebat, kita bisa bersaing.

Sebagai rektor, apa gebrakan Anda untuk mendorong realisasi sarjana hukum Muslim berkualitas itu?
Harus hebat. Itulah, harus riset. Harus doktor. Kalau dia universitas berbasis riset, syaratnya kualitas SDM-nya bagus. Selain itu, ada publikasi di jurnal-jurnal internasional dan tulisan-tulisan. Itu syarat- syarat lain.

UMJ yang tertua ini sekarang sedang berbenah. Karena, Jakarta ini lamban sekali. Saya sebagai rektor tujuh bulan ini sudah berpikir harus melompat dari keadaan yang ada. Makanya, lewat lompatan ini kami ingin menjadikan satu brand universitas yang terkemuka, modern, dan Islami. Itu yang bisa mencapai world class university. Nah, ini juga berat syaratnya. Harus menjadikan universitas berbasis riset yang akan dituangkan dalam nutrisi keilmuan kepada mahasiswa.

Karena itulah, semua dosen saya wajibkan untuk mengambil doktor. Kalau SDM kita sudah 2.018 doktor, kita bisa melompat. Hanya dengan cara itu.

c38 , ed: Nashih Nashrulla


Tags: Hukum Islam, RUU KUHP
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori: Wawasan, Wawancara



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website