Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Artikel

Homepage

Puasa dan Dekolonialisasi Kerakusan

.: Home > Artikel > Majelis
15 Juni 2017 01:57 WIB
Dibaca: 1839
Penulis : David Efendi

gambar: orguterapi

 

I have lost three kgs but I am getting energy from my supporters across the country. The countrymen should not lose this spirit, this is our fight against corruption.”  –  Anna Hazare

 

Sejarah menunjukkan bagaimana ‘puasa’ sebagai ritual keagamaan dapat dijadikan media untuk mengeskpresikan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan. Tradisi puasa sebenarnya tidak hanya monopoli salah satu agama. Puasa dapat meningkatkan dan membangkitkan solidaritas rakyat untuk bangkit melawan berbagai bentuk imperialisme, kolonialisme, termasuk melawan rejim diktator dan pemerintahan korup. Titik sejarah itu paling kuat dapat kita saksikan dalam sejarah Islam di Indonesia dan juga Hindu di India.

 

Ada dua terminologi yang perlu dibuat jelas dalam tulisan ini. Pertama adalah pengertian puasa. Puasa, tidak identik dengan Islam atau agama dominan saja, karena praktik ritual puasa sejatinya adalah upaya menomorduakan ambisi duniawi dan jasad. Sehingga makna puasa adalah menghindarkan sikap kerakusan dengan memboikot nafsu lahiriah dan bathiniah – nafsu kebinatangan. Makna lain adalah, puasa sebagai manifesto keberpihakan dan solidaritas sosial. Kedua, adalah perluasan arti imperialisme.  Kata imperialisme sebelum abad ke-19 dengan pasca perang dunia ke-2 sangat berbeda. Imperialisme periode awal ditandai dengan penaklukan wilayah kekuasaan tertentu, eksploitasi fisik penduduk untuk kepentingan dagang, sementara imperialisme zaman baru adalah eksploitasi akibat surplus of value yang  dilegalkan negara.

 

Ketimpangan ini tidak dibenarkan dalam agama apa pun sebab menegasikan rasa keadilan. Dan ini adalah bagian praktik sehari-hari penindasan, sementara imperialisme kerakusan juga dilakukan oleh aktor negara dengan cara korupsi atau power abuse.

 

Pada sejarah Islam tertulis kemenangan perang badar dilakukan pada bulan puasa. Kemenangan ini hampir tidak masuk akal para tentara Islam akibat musuh dan perlengkapan yang tidak sebanding dengan yang dimiliki pasukan yang sedang berpuasa. Beberapa buku menuliskan tentara Islam hanya sekitar 300 melawan ribuan tentara kafir Quraish yang menolak Islam, menolak kehidupan yang lebih beradab dan ingin menguasai tanah Arab dengan kejahiliyahan dan tradisi nenek moyang yang anti monoteisme.

 

Puasa, selain ritual hablum minna Allah, adalah media untuk meningkatkan militansi, kepercayaan pada Sang Khalik dan tentu saja secara spiritual masing-masing memberikan konstribusi akan perjuangan yang bermakna. Dengan puasa, manusia merasa punya tempat kembali, sebaliknya para kafirin semakin takut akan kemusnahan yang sia-sia. Inilah propaganda ideologi yang sangat melekat pada awal-awal sejarah kemenangan Islam. Kalau dalam gerakan sosial, ideologi adalah yang membuat seseorang rela mati untuk keyakinannya.

 

 

India, Indonesia dan Puasa Perlawanan

 

Seorang pejuang anti korupsi India, Anna Hazare, mengatakan: ”I have full faith in my country. This government has looted the country, we will now only rest in peace when corruption gets removed from the country.”

 

Beberapa tahun lalu, India mengejutkan dunia dengan kemunculan sosok pengikut Mahatma Gandhi (1869-1948) yaitu Anna Zahare yang menjalani ritual puasa untuk menolak atau melawan korupsi di India. Zahare beberapa tahun mendekam di penjarah dan dengan demikian semakin matang secara spiritual. Ritual puasa selama 14 hari itu membangkitkan solidaritas rakyat India untuk bersimpati, mendukung, upaya perlawanan terhadap korupsi. Ini merupakan bentuk perlawanan non violence yang sudah dicontohkan oleh pendahulunya Mahatma Gandhi ketika melawan bangsa imperial Inggris.

 

Setelah Gandhi, ada beberapa pengikutnya yang telah menggunakan puasa sebagai alat perlawanan seperti Potti Sriramulu yang meninggal di tahun 1952 setelah 82 hari berpuasa untuk kelahiran India baru, Irom Sharmila Chanu yang berpuasa tahun 2000 demi memprotes kematian rakyat jelata,  ada Swami Nigamananda yang meninggal pada bulan Juni akibat puasa selama 115 hari untuk menolak penambangan illegal yang berdaya rusak besar, dan terakhir yang monumental adalah Anna Zahare, yang dikenal puasa untuk melawan rezim super korup. Kini, mereka menyadarkan rakyat India untuk mengetahui kebenaran dan mengajarkan bagaimana cara menolak dan mengolok kerakusan imperial.

 

Karena itu para pejuang India tersebut layak mendapat gelar pejuang orang- orang lapar. Majalah Time pada edisi September 5, 2011 menuliskan “hungry for change” untuk menjuluki para pejuang India semenjak sebelum merdeka sampai India hari ini. Kalau tidak berlebihan saya ingin menambahkan, merekalah yang sudah sukses membuktikan kedahsyatan puasa (bukan sekedar mogok  makan), sebagai ritual yang sudah mengubah dunia.

 

Perang kemerdekaan pada bulan Agustus tahun 1945 yang berujung pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia secara kebetulan atau tidak adalah bertepatan dengan bulan Ramadan dimana 89% jumlah penduduk sedang melakukan ibadah puasa. Dalam suasana bathin orang berpuasa adalah semangat pembebasan, semangat anti kemusrikan akibat keyakinan bahwa seluruh hidup dan mati, lapar adalah hanya untuk mengabdi kepada Allah. Jika ada penghalang melakukan keyakinan tersebut maka mereka akan rela untuk mati dan melawan dengan sekuat tenaganya. Ini adalah suasana kebathinan karena jihad anti kolonial adalah kewajiban bagi setia muslim jika ada penghalang terhadap syariat yang diyakininya.

 

Dalam tradisi lokal, Jawa-Hindu, pun di Indonesia mempunyai ritual puasa untuk tujuan dan hajat tertentu. Banyak masyarakat kejawen jika menghendaki sesuatu maka dijalani dengan perlawanan non-fisik non kekerasan dengan cara berpuasa. Di Yogyakarta, saya menemui banyak orang yang mengaku berpuasa untuk menurunkan penguasa Orde Baru Suharto termasuk Sultan (Raja Yogyakarta) melakukan hal yang sama demi terwujudnya suksesi kekuasaan Indonesia yang tanpa diikuti kekarasan dan korban. Jadi, sepengetahuan saya para pengikut “kejawen”, atau apa yang disebut Clifford Geertz (1964) sebagai agama Jawa, berkeyakinan bahwa jika manusia tidak mampu mengubah keadaan maka yang leluhur atau yang berkuasa atas jagat akan membantu, jika kita meminta maka ritual tertentu harus dilakukan untuk menggabungkan keinginan manusia, leluhur dan penguasa alam raya. Dalam tradisi Islam-kejawen ini disebut “manunggaling kawula lan gusti” dengan pertama harus yakin mengenai ajaran “sangkan paraning dumadi.” Sudjiwo Tedjo (2011) menerjemahkan ajaran luhur ini dengan kalimat sederhana bahwa “kita tidak akan mengerti kemana kita akan pergi, kalau kita tidak tahu dari mana kita datang/berasal”. Ini adalah bentuk teologi kejawen yang tidak sepenuhnya bertentangan dengan agama mainstream.

 

Menjelang tumbang Suharto, banyak mahasiswa sambil demonstrasi melakukan mogok makan (sedikit beda dengan puasa) namun maksudnya adalah mengundang perhatian bahwa perjuangan mereka adalah perjuangan menaruhkan nyawa demi kehidupan lebih baik yang juga mengundang simpati mahasiswa lainnya dan juga para tokoh untuk menyelamatkan nyawa mereka. Mereka menggabungkan ritual dengan bentuk-bentuk radikalisme kaum kiri, sambil mogok makan juga menduduki gedung rakyat. Upaya ini diyakini cukup memberikan dampak psikologis bagi demonstran atau bagi pihak penguasa (the rulers).

 

Sayang, akhir-akhir ini tidak muncul solidaritas anti korupsi akibat pengausa yang terlalu kuat. Ritual puasa semakin melemah, sehabis bulan puasa korupsi merajalela artinya puasa bukan menjadi alat perlawanan tetapi menjadi formalitas saja tanpa makna perubahan keadaban. Di saat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dihabisi, dirongrong, dan dilemahkan tidak muncul tokoh dengan kekuatan simbol spiritual yang mampu menyatukan kesadaran publik sebagaimana terjadi di India. Koruptor dan mafia semakin berani melawan kebenaran yang Sedang diterapkan sebagai fenomena the corruptors fight back. Puasa mengalami keterpurukan makna dalam kilasan sejarah Indonesia baru. Jika manusia tidak berdaya melawan kerakusan imperialisme baru, dan relasi dengan leluhur atau pengausa jagat juga memudar, maka transformasi sosial menjadi jauh panggang dari api.

 

Sebagai kesimpulan, bahwa puasa adalah satu kekuatan spiritual yang dapat ditransformasikan dalam kekuatan fisik para pelakunya. Puasa alat perlawanan yang efektif terhadap dominasi yang dimulai dari penolakan terhadap hegemoni nafsu serakah. Praktik kesewenangan bisa dilawan bahwa kita tidak makan apa yang mereka ingin kuasai, dengan tidak mendewakan uang dan harta benda. Dan itulah makna puasa sebagai alat perlawanan!

 

Dengan demikian metode puasa seharusnya dapat disepadankan dengan teori taktik dan strategi gerakan sosial kontemporer seperti struktur kesempatan politik, framing, dan mobilisasi sumber daya.

 


Tags: Puasa , DekolonialisasiKerakusan
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : artikel puasa

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website