Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Artikel

Homepage

Menyongsong Kopdarnas Penggiat Literasi: SHABRAN LITERASI

.: Home > Artikel > Majelis
07 Desember 2017 06:48 WIB
Dibaca: 1526
Penulis : Ihsan Nursidik

Image result for pondok hajjah nuriyah Shabran literasi

 

 

“Saya lebih suka lamunan untuk masa akan datang daripada sejarah masa lalu”

( Thomas Jefferson 1743-1826)

 

 

Pondok Kader Hajjah Nuriyah Shabran (Pondok Shabran) sebagai salah satu institusi pendidikan yang menerapkan sistem mondok untuk jenjang pendidikan perguruan tinggi menjadi salah satu keistimewaan tersendiri bagi mahasiswa yang mengemban pendidikan disini. Sistem pendidikan yang memadukan sebuah kolaborasi keilmuan Islam dan kemuhammadiyan menjadi branding yang cukup dikenal oleh masyarakat. Dalam pergumulan keilmuannya Shabran sebagai institusi keilmuan ditingkat mahasiswa tentu memiliki dinamikanya sendiri, berbeda dengan pondok-pondok pada umumnya, yang cenderung lebih mengedepankan potensi-potensi keilmuan dalam bidang agama (Islam) saja, Shabran telah menjadi wadah bagi lahan untuk keilmuan Islam dalam panggung nasional bahkan internasional.

 

Mahasantri sebagai sebutan santri di tingkat PT merupakan gelar yang disandang bagi orang yang sedang mengemban pendidikan disana. Mahasantri yang diperoleh lewat seleksi akademik disetiap Pimpinan Wilayah Muhammadiyah menjadikan kultur dan nuansa shabran kaya akan nilai-nilai kebhinekaannya. Sebuah dinamika pendidikan yang cukup kaya dimana pertemuan budaya dan adat setempat berbaur dalam bingkaii Islam dan Muhammadiyah.

 

Dalam hal ini kesadaran akan meningkatkan sebuah wacana keilmuan merupakan alasan utama terbentuknya sebuah wadah diskusi yang kemudian dinamakan Shabran Literasi. Berawal dari kegiatan-kegiatan diskusi yang dilakukan oleh bidang RPK IMM PK Hajjah Nuriyah Shabran, menjadi titik kebuntuan ketika program IMM yang cukup padat mengakibatkan diskusi-diskusi di shabran tidak terkordinir dengan baik. Maka daripada itu Shabran Literasi menjadi sebuah jawaban akan problema serius itu tadi. Dalam kinerjanya Shabran Literasi berusaha untuk mengintesifkan diskusi dan menulis dengan sistem dua kali pertemuan dalam sepekan dengan merujuk pada sebuah kurikulum atau silabus yang dibuat serta hari-hari bebas yang lebih leluasa. Dalam bentuk diskusinya, Shabran Literasi mencoba mengoptimalkan mahasantri dan dosen Shabran sendiri sebagai pemateri.

 

Dalam diskusinya pemateri ditunjuk dan diwajibkan membuat tulisan mengenai materi yang akan didiskusikan. Meskipun tulisan masih serampangan dan tidak baku berbentuk layaknya tulisan yang memenuhi kaidah-kaidah standar dalam EYD, tetap hal tersebut menjadi hal yang diakui sebagai salah satu karya yang diapresiasi dan diarsip sehingga dari kegiatan ini diharap menjadi salah satu pemacu semangat menulis.

 

Salah satu rencananya bahkan bermaksud untuk mengadakan diskusi-diskusi yang modelnya lebih interaktif. Salah satu yang digagas adalah dengan mendatangi rumah dosen yang dijadikan pemateri dalam salah satu sesi diskusi yang diadakan. Hal ini menjadi nilai plus ketika bisa menghadirkan dialog yang lebih cair dan enjoy. Sehingga wawasan yang diperoleh lebih mudah dicerna dan tidak membosankan. Membuka keran diskusi sehingga pendengar bisa kemudianmenjadi pembicara adalah salah satu hal yang terus dicoba untuk diupayakan.

 

Dalam perjalanannya, diskusi-diskusi yang berlangsung masih butuh beberapa perbaikan, seperti halnya dengan tempat yang masih kurang representatif untuk orang banyak, atau mungkin pengadaan konsumsi sebagai daya tarik yang masih minim, serta keterbatasan buku yang ada. Belum lagi penjadwalan yang masih serampangan dan kurang rapih menjadi salah satu kendala yang kerap kali menjadi permasalahan tersendiri bagi shabran literasi.

 

Menjadi sebuah catatan berharga, ketika diadakanforum evaluasi dalam setiap pertemuan agenda literasi. Banyak sekali yang kemudian harus menjadi bahan perbaikan dan penyempurnaan dibeberpa lini. Kebutuhan akan pengendalian jadwal diskusi dan sistematika materi masih menjadi PR yang mesti dibutuhkan beberapa rumusan yang lebih tersistematis lagi. Kelemahan dan keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang masih minim dan butuh peningkatan potensi-potensi dalam hal kepenulisan agar diskusi-diskusi yang diadakan dapat terdokumentasi. Sehingga dari dokumen-dokumen itu tadilah bisa dijadikan sebagai pembendaharaan bacaan disamping buku-buku konvensional lainnya.

 

Seorang referensi hidup dalam hal kepenulisan menjadi komponen yang sangat dibutuhkan, dimana literatur-literatur mengenai kepenulisan masih belum bisa menggapai pemahaman yang komprehensip mengenai kepenuilisan. Karena secara fungsional teori saja tanpa adanya dorongan untuk mengaktualisasikan teori tersebut dalam ranah aplikatif hanya akan menjadi sekedar wacana kosong.

 

Alumni-alumni yang aktif di kepenulisanpun masih cukup sulit untuk dilacak, dimana dari satu angkatan/periode hanya sekian persen saja yang aktif dalam dunia tulis menulis. Kecenderungan dalam organisasi menjadikannyal luput dan lupa akan dunia literasi. Kehidupannya disibukan dengan segala prangkat organisasi-organisasi yang sangat padat.

 

Sehingga dalam hal ini keanggotaan dari Shabran Literasi cenderung terabaikan karena kesibukannya dalam aktivitas-aktivitas sivitas akademika yang berkutat dalam persoalan organisasi mahasiswa, unit kegiatan mahasiswa dan komunitas-komunitas daerah yang cenderung lebih bergerak dalam ranah sosial. Wahana membaca menjadi kurang diminati oleh mahasiswa terutama oleh para mahasantri Shabran.    

 

Dalam persoalan yang cukup memperihatinkan ini, Shabran Literasi berusaha mencoba terus mendobrak kesadaran mahasantri yang masih terjebak dalam kesadaran naif. kampus hanya menjadi ladang mencari formalitas dan legalitas teruntuk mendapat pengakuan perkerjaan dimasa depan. Pola berfikir yang terkontaminasi arus globalisasi dengan berbagai produk westrenis yang mencengkram segala aspek kehidupan manusia menjadikan eksistensinya sebagai manusia tereduksi oleh pandangan-pandangan materialistik.

 

Lembaga-lembaga pendidikan yang semakin berorientasi pada profit semata, seakan kualitas lembaga pendidikan hanya ditinjau dari seberapa luas dan besarnya lembaga tersebut. Ukuran kualitas dilihat dari bentuk-bentuk formalistik yang tercermin dari megahnya bangunan, kuantitas mahasiswa, serta akreditasi yang dikejar semata hanya sebagai brand yang menarik permintaan pasar. Sehingga usaha untuk mencerdaskan bangsa hanya angan-angan belaka, yang ada adalah membodohi bangsa dimana segaka prangkat pendidikan hanya digunakan sebagai ajang bergengsi bagi kalangan konglemerat ketika bisa menyekolahkan anaknya di sekolah favorit dan unggulan. Bukan karena tujuan ingin menuntut anak supaya menjadi anak yang berkepribadian luhur melainkan sebagai kebanggaan pribadi ketika anak dapat berada di sekolah yang bergengsi.


Tags: ShabranLiterasi , KopdarnasPenggiatLiterasi , IhsanNursidik

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website