Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Artikel

Homepage

Menyongsong Kopdarnas Penggiat Literasi: MEDIA, MAHASISWA DAN GERAKAN LITERASI

.: Home > Artikel > Majelis
29 November 2017 22:27 WIB
Dibaca: 1499
Penulis : Muladi Wibowo

 

 

“Pendidikan adalah daya upayauntuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti,pikiran, dan tubuh anak.Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkanagar kita dapat memajukankesempurnaan hidup anak-anak kita.” (Ki Hadjar Dewantara)

 

Media dan pembaca ibarat mata uang yang saling melengkapi, jika hanya salah satu pasti ada yang kurang.  Membaca media, khususnya media cetak tetap merupakan hal yang sesuatu banget  bagi pengemar baca. Namun perkembangan media TV dan teknologi informasi berbasis smartphone berdampak pada pergeseran minat baca dan tulis dikalangan anak muda, khususnya mahasiswa. Disisi lain media cetak juga mengikuti selera pasar dengan mengembangkan versi onlinenya.  Jika saya ke perpustakaan, saya masih melihat cukup banyak mahasiswa yang memiliki minat baca yang tinggi terhadap berita di media cetak, faktualnya koran di kampus kalau sudah jam 10 keatas sudah lecek karena dibaca banyak orang.  Namun disadari minat beli koran mahasiswa dan masyarakat masih sangat rendah, termasuk untuk koran dengan harga Rp. 1000,00 ecerannya.

 

Pertanyaan yang sering saya kemukakan kepada mahasiswa di kelas adalah: Apakah kita hari ini sudah membaca?Koran apa yang sudah anda baca hari ini?  menurut hemat saya masih relevan ditanyakan oleh dosen dan guru kepada siswanya. Sayangnya dengan pegeseran literasi siswa dan mahasiswa ini belum didukung maksimal oleh media sendiri. Program kompas untuk guru dan pelajar kurang maksimal gaungnya, program beli satu dapat dua media untuk Pendidikan dari Suara Merdeka justru tidak terdengar lagi. Di Solo, Solopos mulai eksis untuk berkampanye literasi media bagi siswa dan guru, Salut untuk harian Joglosemar yang masih konsisten menjalin kerjasama Akademia dengan Perguruan Tinggi, saran penulis, barangkali Joglosemar perlu menjalin kerjasama dengan wartawan sekolah (Wasis).   

 

Budaya baca tulis memang tidak bisa instan, masyarakat, media, pemerintah harus saling melengkapi. Bagi masyarakat penting kiranya kita menyediakan ruang baca di rumah kita,ruang baca dirumah sama artinya telah memberikan pendidikan orang dewasa bagi anak, untuk memilih buku apa yang dibaca dan kapan mau membaca.  Lebih serius lagi pentingkah kita membaca dan menulis.  Pertanyaan tersebut sangat tidak relavan jika kita merasa sudah bisa membaca dan menulis, namun akan menjadi paradok jika kita ternyata tidak melakukan hal tersebut.  Kita sadari bahwa masih ada orang yang belum bisa membaca dan menulis dan berharap bisa menulis-membaca (literasi), ketika kita bisa melakukan keduanya, kita lebih asik melakukan hal hal lain  yang kita anggap lebih penting.  Maka marilah kita membaca dan menulis, atau setidaknya pernah kita mencoba menuliskan gagasan kita agar tidak hanya menjadi dunia ide saja.

 

Tiba-tiba kita dikejutkan oleh kesadaran bahwa budaya literasi Bangsa Indonesia masih sangat rendah,  Negara melalui Permendikbud No. 21/2015 berupaya meningkatkan  gerakan literasi di dunia pendidikan. Gerakan ini secara harfiah bertujuan membiasakan dan memotivasi untuk menulis, membaca buku yang menginpirasi dengan harapan meningkatkan budi pekerti.  Gerakan literasi sesungguhnya tidak secara sederhana dimaknai sebagai keberaksaraan belaka, membaca dan menulis merupakan pintu pembukanya. Literasi sangat erat kaitannya dengan bangunan peradaban dari sebuah bangsa, sehingga literasi sesungguhnya menunjukan tingkat kemajuan peradapan bangsa itu sendiri.

 

Konsep literasi dibagi dalam tiga fase,  Pertama pemberantasan buta aksara, bangun utuhnya adalah komitmen bangsa untuk menghilangkan buta huruf/tulis bagi warga negaranya. Artinya secara individu, kelompok  dan institusi perlu gerakan dan partispasi untuk menuntaskan buta huruf dan buta tulis. Fase kedua, manakala orang membaca dan menulis lebih disebabkan oleh faktor menjalankan profesi dan kepentingannya, mengapa dosen memberi tugas, mengapa kemudian mahasiswa membaca buku dan menulis makalah  dan lain sebagainya.  Fase ketiga adalah ketika sebagian besar masyarakat menulis dan membaca tidak hanya karena masalah profesinya, namun untuk memaknai hidupnya, bagian dari kebutuhan batin/rohaninya. Ada difase mana masyarakat, kelompok dan individu bangsa Indonesia.

 

Dewasa ini, seiring dengan meningkatnya peran media, dunia digital dan smartphone mengakibatkan ruang gerak literasi kita semakin besar/luas.  Sayang nya orientasi literasi masih berorentasi pada kepentingkan pribadi/kelompok, atau bahkan kegiatan literasi nya jauh dari manfaat yang nyata bagi pengembangan peradaban literasi bangsa itu sendiri. Tidak jarang apa yang ditulis dan pendapat yang dikemukakan di media sosial dan jejaring lainnya merupakan sampah sampah literasi, tak jarang berisi sumpah serapah, kebohongan/kepalsuan/artifial lainnya, gosip yang tidak berkesudahan, dan debat kusir tanpa makna.

 

Mahasiswa saat ini adalah kelompok yang minimal ada di fase kedua, sebagai generasi Z yang lahir dan telah menggunakan dan memanfaatkan teknologi secara lengkap, maka pertanyaan diatas sangat relevan untuk ditanyakan ulang. Sudah kah mahasiswa membaca e-book hari ini, sudahkah mahasiswa menulis dan menuangkan pemikiran hari ini, sudahkan keperpustakaan hari ini, sudahkah mahasiswa terlibat dalam gerakan literasi untuk membangun peradaban bangsa hari ini, atau justru mahasiswa sampai hari ini ikut menambah sampah di media sosial, lebih asik bergosip dan lupa berkarya. So hai mahasiswa mari kita membaca novel, membuat puzzle, mengisi tts, menulis cerpen, membuat puisi, membuat essai. 

 

Kepada media cetak dimana saja, harapan saya adalah jangan menyerah, sejarah tetap ditulis dengan tinta, mari bangun sinergi antara penulis, pembaca dan media. Mari kita tingkatkan kerjasama untuk mendorong siswa, mahasiswa dan masyarakat peduli literasi dan media. 

 

Marilah memulai dari diri kita sendiri, marilah mengajak orang lain untuk mulai membaca hari ini, mulai menulis hari ini, mulai berkontribusi bagi orang lain dan mengurangi melakukan kegiatan yang tidak perlu. Mari kita mulai membaca buku – buku yang mengubah dunia seperti Das Kapital, Al Quran, untuk mencerahkan pemikiran kita dan memahami peradapan dunia. Jika mahasiswa berkarya hanya demi tugas profesinya sebagai mahasiswa,  sesungguhnya mahasiswa sendiri yang telah mengubur dirinya untuk menjadi katak dalam tempurung yang dibuat oleh dirinya sendiri.

 

Aktifitas yang diperlukan dewasa ini bukan lagi semata-mata akifitas yang konvensional, keterlibatan dalam arus perubahan sosial bagaimana menggabung budaya pop dan media sosial dalam gerakan literasi yang kekinian. Membangun komunitas peduli, komunitas pop, komunitas berbasis sepakbola dan mengkombinasikan dengan gerakan membaca, menulis dan berdialektika dan membangun dinamika sosial yang lebih bermakna.  Segera lakukan kalau tidak sekarang, kapan lagi, kalau bukan anda siapa lagi... “ *Kemerdekaan berpikir akan tiarap bila tidak membusungkan kedaulatan berlogika*.”

 

 


Tags: MediaMahasiswadanGerakanLiterasi , KopdarnasPenggiatLiterasi , MuladiWibowo

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website