Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Artikel

Homepage

Menyongsong Kopdarnas Penggiat Literasi: MADRASAH LITERASI, UPAYA KEMBALI KE BUKU DAN PENA

.: Home > Artikel > Majelis
07 Desember 2017 01:07 WIB
Dibaca: 1374
Penulis : Kelik Nursetiyo Widiyanto

 

 

Fitnah, bila rakyat Indonesia dihakimi rendah dalam minat baca. Bisa saja itu upaya mereka yang tidak suka bila Negara ini maju. Dengan memvonis rakyat seperti itu, mereka berharap rakyat Indonesia menjadi minder dan merasa rendah diri dan semakin enggan membaca, belajar dan mencari ilmu. Ketika seseorang dipandang negatif maka ada dua kemungkinan, ia akan membenarkan anggapan itu dan enggan bergerak maju mematahkan anggapan negatif itu. Atau, ia mengambil jalan kedua, bersemangat bergerak dan keluar dari anggapan itu.

 

Untuk membenarkan fitnah itu maka dilakukan berbagai cara yang menguatkan bahwa memang rakyat Indonesia itu rendah minat bacanya. Misalnya dengan data statistik jumlah buku yang terbit setiap hari di Indonesia masih terbilang sedikit. Atau dengan minimnya pengunjung perpustakaan. Ditambah dengan era kekinian dibuktikan dengan rakyat Indonesia lebih suka bermain gadget dibanding dengan membaca buku.

 

Fitnah itu bisa dibantahkan dengan kenyataan di lapangan. Peminat perpustakaan itu setiap hari ada anggota baru. Setiap hari di perpustakaan ada saja buku yang dipinjam. Ini membuktikan bahwa rakyat Indonesia gemar membaca. Indikator minimnya pengunjung perpustakaan terbantahkan.

 

Fitnah penerbit di Indonesia minim menerbitkan buku. Bahkan dalam kenyataannya masih banyak penulis yang antri ingin diterbitkan bukunya. Permasalahan penerbitan di Indonesia, diantaranya, pertama, pajak royalty yang memberatkan penulis. Tere Liye seorang penulis novel yang laris manis di toko buku, beberapa waktu lalu menyatakan tidak akan menerbitkan novel lagi. Karena pajak yang terlalu besar dalam royalty yang ia dapatkan. Padahal ada banyak penulis yang menggantungkan hidupnya dari menulis buku. Alangkah bijaksananya bila pemerintah membebaskan dari pajak pendapatan dan pajak-pajak lainnya atas royalty dari para penulis ini.

 

Kedua, komponen penerbitan buku berupa kertas tidak disubsidi sehingga harga jual buku tergantung pada harga pasar kertas. Padahal kertas merupakan komponen utama dalam penerbitan buku. Alangkah eloknya bila pemerintah mensubsidi harga kertas untuk penerbit buku dan bahan bacaan lainnya. Semakin murah harga kertas, maka harga buku akan semakin terjangkau dan bisa dibeli oleh masyarakat luas. Kini, daripada membeli buku lebih baik membeli kebutuhan pangan dulu yang utama. Padahal buku adalah santapan rohani bagi jiwa manusia.

 

Ketiga, putus mata rantai mafia distribusi buku. Salah satu harga buku mahal juga karena mafia harga buku yang menjerat penerbit, pedagang dan penulis. Para mafia ini mengambil keuntungan sebesar besarnya dengan meminta diskon sebesar-besarnya kepada penerbit tetapi menjual dengan harga normal. Belum lagi pada buku proyek pemerintah yang menunjukan kualitas buruk birokrasi pemerintah.

 

Saat ini banyak sekali kelompok masyarakat yang berinisitif mendirikan taman bacaan. Tidak hanya di kota tetapi merambah hingga pelosok pedesaan. Di beberapa tempat, arena CFD dijadikan sarana membudayakan baca buku bagi berbagai kalangan. CFD sebagai ruang public baru tempat berinteraksi dari berbagai kalangan masyarakat sangat membantu penyebaran budaya membaca. Masyarakat yang berolahraga pun bisa menikmati sajian buku-buku ini. Bahkan ada yang menyegaja setiap hari minggu datang ke CFD bukan untuk berolahraga tetapi menukarkan buku yang dulu pernah ia pinjam.

 

Bahkan rakyat berada di dalam hutan pun berusaha didatangi oleh komunitas-komunitas yang peduli dengan pendidikan rakyat Indonesia. Perjuangan para komunitas ini mengajarkan membaca juga untuk memberikan cahaya pendidikan bagi kaum di pedalaman. Mereka sangat antusias. Dengan pendekatan budaya yang mereka anut, gairah menuntut ilmu yang diawali dengan belajar membaca semakin tinggi. Tentunya ini berkorelasi dengan indeks pendidikan.

 

Melihat fenomena tersebut sejatinya fitnah rakyat Indonesia rendah minat bacanya terbantahkan. Permasalahannya adalah minimnya bahan bacaan yang berkualitas bagi rakyat Indonesia. Bahan bacaan yang menginspirasi, menggerakkan dan mencerahkan pemikiran sehingga mereka bisa meningkatkan kualitas hidupnya. Ada pameo banyak orang pintar tetapi tidak memiliki pekerjaan, karena jargon pendidikan kita adalah sekolah sebagai sarana untuk mencari pekerjaan. Padahal sekolah adalah untuk mencari jati diri sehingga bisa mengarungi kehidupan dalam bidang apapun.

 

Sudah sewajibnya pemerintah menyediakan bahan bacaan bagi masyarakat dengan harga murah atau bahkan gratis. Bahan bacaan ini disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Bahan bacaan yang menarik bagi anak-anak atau remaja untuk kembali membaca buku dan meninggalkan gadget mereka.

 

Selain bahan bacaan adalah budaya literasi berikutnya juga tidak kalah penting. Berdiskusi dan menulis merupakan langkah selanjutnya bagi terciptanya masyarakat literasi. Berdiskusi untuk menambah wawasan dan menulis untuk mengikat makna setelah membaca. Bila tiga kegiatan literasi membaca, berdiskusi dan menulis ini tetap diamalkan oleh pegiat literasi maka budaya literasi di Indonesia akan lebih maju, terlebih dengan semakin meningkatnya jumlah rakyat Indonesia yang lulus sekolah menengah.

 

Majelis Pustaka dan Informasi PW Muhammadiyah Jawa Barat menggulirkan madrasah literasi. Sebuah wadah bagi AMM untuk menyenangi dan menggeluti kegiatan literasi. Kelas pertama yang mendapat tambahan pengetahuan tentang literasi ini adalah IMM di Kota Bandung. Selanjutnya, madrasah literasi ini akan berkembang ke berbagai komponen di Muhammadiyah dan di luar Muhammadiyah. Anak-anak panti asuhan, kader HW, Tapak suci, pemuda, Nasyiah, dll merupakan target berikutnya guna menyebar luaskan gagasan madrasah literasi ini.

 

Di madrasah literasi ini, peserta akan mendapat ilmu dan pengetahun tentang teknik menulis, mengembangkan gagasan dan ragam tulisan. Dengan metode yang menarik dan tidak menjenuhkan peserta menikmati marasah literasi ini. Ke depannya MPI PW Muhammadiyah Jawa Barat menjadikan madrasah literasi adalah kawah candradimuka bagi kader. Sudah dibuktikan, para pendahulu, pendiri dan warga Muhammadiyah banyak yang menuangkan gagasannya di media massa dan buku. Tradisi ini mesti berlanjut dan diperlukan upaya-upaya untuk mewujudkannya. Madrasah literasi adalah salah satunya. Salam literasi.

 

 

Kelik Nursetiyo Widiyanto 

Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PW Muhammadiyah Jawa Barat


Tags: MadrasahLiterasi , UpayaKembalikeBukudanPena , KopdarnasPenggiatLiterasi , KelikNursetiyoWidiyanto

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website