Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Artikel

Homepage

Menyongsong Kopdarnas Literasi: GERAKAN LITERASI RAMADAN

.: Home > Artikel > Majelis
08 Desember 2017 00:57 WIB
Dibaca: 1810
Penulis : M. Aziz Dzikri

Image result for ramadan and literation

 

 

 

Bulan Ramadan merupakan bulan di mana kasih sayang Allah turun berlipat ganda. Karenanya, sangatlah beruntung bagi mereka yang berusaha memaksimalkan amal shalehnya di bulan ini. Sebab, sebagaimana Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa yang pada bulan itu mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu kebaikan, nilainya seperti orang yang melakukan perbuatan yang diwajibkan pada bulan lainnya. Dan barangsiapa yang melakukan suatu kewajiban pada bulan itu, nilainya sama dengan 70 kali lipat dari kewajiban yang dilakukannya pada bulan lainnya.”(HR. Bukhari Muslim).

 

Selain menahan lapar dan hawa nafsu, di bulan ini pula banyak kegiatan yang mampu mendekatkan diri kepada-Nya; seperti bertadarus membaca Al-Qur’an siang dan malam. Dengan bertadarus, selain untuk mendekatkan diri pada Allah, juga sedang meningkatkan budaya literasi kita. Karena, jika membaca Al-Qur’an beserta maknanya, selain menambah pahala, juga dapat meningkatkan nalar seorang muslim. Allah Swt., di dalam Quran Surat Shad, ayat 29,berfirman, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka mentadabburi (memperhatikan) ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”

 

Bulan Ramadan pula merupakan bulan di mana Al-Qur’an diturunkan sebagai pedoman hidup manusia. Ketika Al-Qur’an diturunkan, anjuran membaca sebagai gerakan literasi telah digaungkan dalam penyebaran Islam. Di dalam Al-Quran diwartakan, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari (sesuatu) yang melekat. Bacalah, dan Tuhanmu yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq [96]:1-5).

 

Mengenai ayat pertama dari surat Al-Alaq, dalam Tafsir Al-Mishbah (2011: 454), Prof. Quraish Shihab, menjelaskan bahwa kalimat pertamanya diawali dengan fi’il amr (kata kerja perintah) yaitu Iqra’. Iqra’ memiliki beragam makna antara lain: membaca, menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu.

 

Maka dari itu, melaksanakan tadarus sebagai upaya meningkatkan kualitas diri serta meningkatkan budaya literasi bangsa begitu penting di bulan Ramadan. Banyak variasi bertadarus dalam rangka mencari ilmu. Entah itu tadarus Al-Qur’an siang dan malam; tadarus buku berbagai ilmu pengetahuan; tadarus pemikiran dengan cara berdiskusi; atau bahkan merefleksikan hasil tadarus tersebut dengan menuliskannya.

 

Karena, pada tahun 2016 lalu sebanyak 3,56 persen penduduk Indonesia atau dari 5,7 juta orang masih buta aksara. Ini berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pertahun 2015, angka tersebut menurun tipis dari tahun 2014 sebelumnya yakni 3,7 persen atau 5,9 juta penduduk. Juga, data mengenai buta huruf Al-Qur’an di Indonesia, pada tahun 2016 saja, menurut pemaparan Pimpinan Akademik Al-Qur’an Wildan Lc, sekitar 60 persen umat Islam di Indonesia belum bisa membaca Al-Qur’an.

 

Di Indonesia terdapat beberapa organisasi sosial keagamaan yang dibangun atas dasar fondasi literasi yang kuat, salah satunya adalah Muhammadiyah. Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan secara fondasi didirikan setelah melalui proses pembacaan sosial setempat yang menghawatirkan. KH. Ahmad Dahlan mendirikan dan mengembangkan Muhammadiyah atas dasar tadarus bahan bacaan teks dan konteks yang amatlah kuat. Teks-teks yang ditadarusi Dahlan tak hanya yang bersifat teologissaja; namun ia membaca teks progresif yang menggerakan jiwa terjajah menjadi jiwa merdeka, seperti majalah Al-Manar yang diterbitkan di Paris, Prancis. Serta—cerita fenomenal dan melegenda—ketika ia mengajarkan ngaji surat Al-Mau’un kepada muridnya, ia mengajarkan untuk membumi-manusiakan pesan Allah yang melangit agar bisa dinikmati oleh seluruh mahluk-Nya sebagai penjawab tantangan zaman.

 

Fenomena pengajaran surat Al-Maun antara Dahlan dan muridnya, secara tidak langsung Dahlan menggiring muridnya—sebagai penerus persyarikatan Muhammadiyah kelak—untuk berpikir rasional dan terbuka. Kemnusiaan yang dibangun oleh Muhammadiyah berbobot literasi tinggi yang tak menanggalkan konteks zaman. Maka tak heran jika Moeslim Abdurahman menempatkan Ahmad Dahlan serta Nurcholis Madjid sebagai tokoh penemu kunci-kunci hermeneutis di zamannya. Dahlan mampu mengembangkan terma-terma TBC (Taklid, Bid’ah dan Churafat) sebagai bahan penumpas imprealisme-kolonialisme yang amat membunuh rasionalistas masyarakat pribumi zaman itu, serta juga agar masyarakat terlepas dari penjajahan dan keluar dari tradisi yang meninabobokan atas penjajahan tersebut.

 

Juga ketika membicarakan Nurcholis Madjid, Cak Nur memandang bahwa Dahlan merupakan salah satu tokoh profetik sebab mampu membaca zaman dengan cara-cara kenabian yang amat menjunjung tinggi kemanusiaan serta benar-benar mengerti islam yang rahmatan lil alamin. Melihat itu, akan sangat disayangkan jika dalam tubuh Muhammadiyah—khususnya generasi mudanya—meninggalkan tradisi literasi atau tadarus progresif tersebut, dan hanya mendekati hal-hal remeh temeh yang jauh dari sifat pembangunan peradaban. Muhammadiyah sebagai partner berbangsa dan bernegara republik ini mesti terus dan mampu menyegarkan intelektualitasnya melalui tradisi literasi tinggi.

 

Jika melihat bulan Ramadan sebagai tonggak literasi peradaban dunia, serta jika kita melihat budaya bangsa, pada saat bulan Ramadan orang-orang semakin giat melakukan aktivitas keagamaan. Entah itu shalat berjamaah di masjid maupun tadarus. Hanya saja, jangan sampai ketika bulan yang penuh kasih sayang Allah tersebut akan berakhir, budaya tadarus ditinggalkan secara perlahan. Hal tersebut sangat disayangkan, karena melihat budaya literasi kita yang masih minim. Sebab melalui tadarus atau membaca, sama saja kita sedang keluar dari kegelapan dan kebodohan menuju pencerahan peradaban.

 

Akhirul kalam, seyogyanya seorang Muslim mempertahankan aktivitas positif demi masa depan peradaban bangsa yang progresif. Bulan Ramadan, di mana Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah, harus kita baca sebagai pesan gerakan literasi. Karena dengan membaca itu sendiri, di bulan suci Ramadan Rasulullah dapat melakukan pembebasan yang tak hanya menyangkut persoalan teologis (ketuhanan), namun juga dalam hal kemajuan peradaban duniawi. Wallahua’lam

 

 

M. Azis Dzikri

Mahasiswa Jurusan Sosiologi UIN Bandung, Aktivis IMM UIN Bandung, Pegiat LiSIP (Lingkar Studi Islam dan Peradaban)

 


Tags: GerakanLiterasiRamadan , KopdarnasPenggiatLiterasi , M.AzizDzikri

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website