Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Artikel

Homepage

Many Share But Little Care: Menarasikan Politik Kaum Millenial Indonesia

.: Home > Artikel > Majelis
10 Maret 2019 23:07 WIB
Dibaca: 1241
Penulis : David Efendi

 Generasi milenial dan perbaikan kualitas politik. sumber: kampuang.id
 
 
 
Memperkokoh tradisi riset untuk keperluan yang sangat aktual menyangkut kehidupan banyak orang merupakan bentuk respon yang adil dari golongan cendekiawan. Pertama dan utama, saya memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Magister Ilmu Pemerintahan UMY dan tim peneliti yang bekerja sangat serius untuk menghasilkan ‘nilai guna penelitian’ bagi pemenuhan tanggungjawab moral intelektual dan juga memberikan asupan gizi bagi penyegaran kehidupan berpolitik (kebijakan, praktik interaksi sosial). 
 
Topik milenial voters (pemilih milenial/pemilih muda) yang diangkat sebagai pilihan sadar —betapa uniknya respon kalangan milenial terhadap peristiwa pemilu serentak yang tinggal beberapa pekan ke depan. Juga terdapat kebaruan situasi yang dapat dilabeli sebagai tindakan yang dekat kepada digitalisasi of everything, termasuk di dalam merespon politik. Bisa jadi, internet adalah wahana anti politics dan disaat yang sama adalah bahwa internet of political things
 
Fenomena ‘baru’ terkait keterhubungan dan ketidakterhubungan politik (political engagement & political disengagement) golongan milenial tentu saja menjadi kajian yang penting. Mengapa? Karena generasi milenial adalah bukan hanya soal tahun lahir akan tetapi adalah ihwal statistik politik. Ada 70-80 juta pemilih dalam pemilu serentak 2019 ini yang berasal dari generasi milenial, yaitu pemilih yang lahir antara tahun 1982-2000, atau yang berumur 17 tahun sampai 35 tahun (Howe & Strauss, 2000). 
 
 
Social Media dan Politik Baru 
 
Ada kekuatan sosial media yang sangat besar sebagai the weapon of politics atau sebagai mesin pemenangan pemilu, karena daya jangkau dan intensifnya memasuki ruang-ruang yang sangat prifat khususnya bagi kalangan generasi milenial. Daya ubah sosial media yang ada di genggaman ini melampaui model-model sarana politik konvensional pemilu seperti baliho, rontek, poster jalanan yang dibatasi ruang (space boundaries), sementara menggunakan mesin internet of everything banyak ruang dan waktu melebur menjadi satu: real time dan massive. Daya lawan media alterntif seperti blogger dan sosial media yang notabene non meanstream media dapat menjatuhkan rezim yang puluhan tahun berkuasa pada pemilu di Malaysia tahun 2008 dan tahun 2013 sebagaimana dicatat oleh Haah Foong Lian dalam disertasi yang kemudian dibukukan dengan judul The Power Game: Political Blogging in Malaysian National Elections yang diterbitkan ISEAS Singapore. 
 
Saya kira perang cyber media sosial dalam pemilu gubernur DKI Jakarta tahun 2017 menjadi satu fenomena yang membuktikan daya politik media sosial. Perang udara atau cyber war gaungnya sampai keluar dari planet bumi. Isu apa saja dipakai seperti homo homini lupus dan itu pasti melelahkan bagi kalangan milenail. Mereka bilang: “kapan pilgub Jakarta berakhir. Mereka ingin segera  escape dari ekspansi politik ke ruang digitalnya. Mereka tak mau lagi ‘kepoin’ pilkadal!
 
Ada setidaknya 6 media sosial yang populer di kalangan generasi milenail seperti WhatsApp, IG, Facebook, Twitter, Line, Snapchat. Tiga yang paling diminati adalah IG (86, 75%) karena insta story-nya, Facebook yang lebih interaktif (63,75%), dan WhatsApp yang dapat berkumpul dengan sesama grup yang seminat sebesar 65,5%. Minimal generasi milenail memiliki 3 akun yang berbeda sosial media sehingga mereka memang sangat intensif mendayagunakan sosial media untuk kebutuhannya terutama untuk hiburan dan sumber informasi. Hiburan dan panduan konsumsi merupakan dua aktifitas online yang lazim di Indonesia. Untuk kelompok milenial berdasarkan temuan penelitian MIP ini, ada 24,25 % yang mempergunakan sosial media untuk kepentingan koreksi terhadap pemerintahan atau sebagai media saluran  demokratis seperti mengkritik dan membagikan konten-konten meme politik yang mengandung ‘lelucon’. Juga ada sebesar 54% generasi milenail pengguna sosial media ini mengaku tiga bulan terakhir merespon beragam isu politik dengan hastag-hastag yang relatif netral seperti #pemilu #politik dan tidak ditemukan hastag #ganti presiden #tetapJokowi #installJokowi #uninstallbukalapak, tanpa hastag #indonesiamaju atau #indonesiamenang. Dalam beberapa situasi, responden ini juga dapat dikategorikan sebagai tipologi netizen yang aggressor atau responder (Heryanto, 2018).  
 
Satu lagi temuan yang penting dalam penelitian survei ini. terdapat 47% generasi millenial/ millenial voters masih belum tahu akan mengikuti atau tidak mengikuti Pemilihan Umum serentak 2019. Ada tiga alasan penyebabnya, yaitu mereka tidak menganggap pemilu itu penting (42,9 %, kandidat yang tidak menarik (33,3%), dan mereka tidak percaya pemerintah (23,8%). Beberapa penjelasan lainnya  adalah dikarenakan mereka lebih sering menemui informasi hoax atau ujaran kebencian di medsos, dibandingkan informasi kreatif yang mendidik pemahanan politik menjadi alasan masih banyaknya undecided voters. Pada umumnya mereka tidak suka model-model konvensional dalam kompetisi pemilu seperti merusak pemanngan jalanan (sampah visual), memaku rontek di tubuh pohon-pohon dan fasilitas umum, dan sebagainya. 
 
Beberapa makna yang dapat diambil dari hasil desiminasi riset ini adalah, pertama. Intensitas bersosial media di kalangan milenialers tidak serta merta berjumpa dengan situasi dimana mereka harus terlibat aktif dalam urusan politik elektoral—tidak sedikit  justru mereka ‘emoh’ dengan politik. Sosial media digunakan untuk menyatakan tidak berpolitik dukung-mendukung dan dengan cara yang netral alias biasa-biasa saja. Bisa juga dimaknai, walau mereka seolah sering membagi (share) lelucon politik dan kandidat presiden sebenarnya mereka tidak peduli-peduli amat urusan gegap gempita pilpres dan pileg. Many share but little care adalah satu ekspresi yang bisa kita sematkan pada generasi milenial terkait pemilu dan politik ke-pemilu-an. 
 
Kedua, ada kejenuhan terhadap cara-cara konvensional pemilu dan penyelenggaraan pemilu yang tidak ‘gue banget’ bagi kalangan milenial. Mereka tidak akan pro aktif urusan pemilu selama model pemilu begini-begini saja dan jauh dari dunia generasi milenial terutama generasi milenial yang rentang usianya antara 17-24 tahun. Apa pentingnya pemilu bagi kaum milenial? Selalu saja mereka mendapatkan jawaban yang tidak mengena bagi jalan pikiran dan gaya-nya. 
 
Saya kira tulisan ini akan mengajak diskusi lebih panjang dan luas. Silakan membirikan testimoni dan kaum milenial sedunia bersatulah! Gunakan daya politikmu, gunakan genggamanmu untuk menyatakan gaya politikmu!
 
 
*) Dosen Ilmu Pemerintahan UMY, Anggota MPI PP Muhammadiyah.

Tags: MenarasikanPolitikKaumMillenialIndonesia
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : Wawasan

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website