Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Artikel

Homepage

Kopdarnas Penggiat Literasi: KOMUNITAS SEBAGAI PILAR GERAKAN LITERASI BANGSA

.: Home > Artikel > Majelis
09 Desember 2017 23:34 WIB
Dibaca: 1806
Penulis : Faiz Ahsoul

sumber foto: kompasiana.com/fairus

 
 
Negara digerakkan oleh tiga pilar: Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat (komunitas). Kalau satu di antara ketiganya ada yang patah, negara akan pincang, akan roboh, akan bangkrut, dan bubar pada waktunya. Gerakan literasi, tidak sekadar menjadi tangungjawab pemerintah, tapi swasta dan masyarakat pun harus mengambil bagian dan peran sesuai dengan proporsinya. Negara menjadi kuat, jika anak bangsanya literat.
 
Para pendahulu kita sudah memberikan praktik dan contoh yang sangat baik bagaimana sebuah gerakan untuk perubahan selalu dibarengi dengan kerja-kerja media publikasi dan alat kampanye pengetahuan, termasuk buku. Kita ambil contoh, Muhammadiyah sebagai organisasi berbasis keagamaan yang berdiri 1912, tiga tahun kemudian langsung membuat Suara Muhammadiyah, sebuah majalah sebagai corong sarana dakwah organisasi. Majalah yang kali pertama terbit Januari 1915, semula berhuruf Jawa yang menggunakan bahasa Jawa ngoko. Mengikuti pekerkembangan zaman dan perubahan peta politik kebangikitan nasional, terutama sejak tahun 1928, pasca Sumpah Pemuda, Suara Muhammadiyah mulai menggunakan bahasa Melayu. Harapannya, Suara Muhammadiyah bisa dibaca sampai pelosok Nusantara. Memasuki era revolusi teknologi informasi, Suara Muhammadiyah tidak cukup menggunakan media cetak, tapi lengkap dengan media portal http://www.suaramuhammadiyah.id/.  Dalam jejak sejarah media dan perss Indonesia, hanya Suara Muhammadiyah yang masih hidup dan bertahan sampai seabad lebih. Maka, kalau kita bicara tentang media dan literasi, jejak Suara Muhamadiyah bisa menjadi salah satu contoh konsistensinya.
 
Perubahan sebuah bangsa menuju hal lebih baik tidak akan terjadi, jika anak bangsanya tidak memiliki budaya literasi. Salah satu ciri bangsa yang cerdas, mampu mencerna dan mengolah informasi secara kritis. Budaya literasi akan tumbuh kembang secara progresif jika dinamika media perss dan sistem perbukuan berjalan secara menyeluruh dalam ekosistem yang baik. Namun, apakah kondisi yang diharapkan tersebut akan bisa hadir dengan sendirinya? Jelas tidak. Kita sebagai anak bangsa dan pegiat literasi, harus mampu menciptakan kultur dan budaya literat, minimal di lingkungan terdekat sendiri. Untuk itu, saya tidak akan banyak cerita di luar yang saya ketahui dan kerjakan sehari. Ijinkan saya berbagi pengalaman sehari-hari saya bersama kawan-kawan Indonesia Buku dengan berbagai kegiatan literasi berbasis komunitas.
GELARAN IBUKU (Hak Buku untuk Semua)
 
Awal berdiri Gelaran Ibuku menempati rumah kontrakan di Jeron Beteng (Dalam Benteng) Keraton Yogyakarta, tepatnya di Jl.Patehan Wetan No. 03, Keraton Yogyakarta. Resmi menjadi Taman Bacaan Masyarakat (TBM) pada tanggal 23 April 2009 di bawah naungan Yayasan Indonesia Buku/IBOEKOE yang lahir pada tanggal 23 April 2006. Memasuki awal tahun 2014, Gelaran Ibu migrasi ke desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, tepatnya di Jl. Sewon Indah No.01 (barat kampus Institut Seni Indonesia-Sewon). Perpindahan ini sekaligus tanda Gelaran Ibuku menetap secara permanen di gedung Bale Black Box berlantai dua dan menjadi warga desa Panggungharjo secara utuh. 
 
Tagline Hak Buku untuk Semua yang diusung Gelaran Ibuku merupakan spirit berbagi pengetahuan dan kesempatan belajar secara kolektif. Buka 10 jam setiap hari Selasa-Minggu dari Jam 13.00–22.00 WIB. Senin libur. Fasilitas pendukung di area TBM selain ruang perpustakaan dan ruang baca, ruang kerja kearsipan dan mini gallery books, ruang diskusi, performance dan ruang pameran indor dan outdor, juga studio radio buku untuk siaran dan rekaman, serta halaman parkir luas, tempat sholat, MCK dan akses internet gratis (Wifi).
 
Gelaran Ibuku mempunyai ribuan koleksi buku, 3.965 judul buku sudah terkatalog secara online yang bisa diakses di www.katalogbersama.net/ucs Koleksi umumnya bertema sejarah, biografi, kawasan, seni sastra, pers, dan referensi, juga tersedia beberapa keranjang khusus untuk menampung buku-buku bacaan anak. Di luar koleksi Gelaran Ibuku yang berada di lantai dua, di lantai dasar ada sekitar 2000an judul koleksi pustaka Dr. George Junus Aditjondro yang bisa diakses secara terbatas. Selain buku, di Gelaran Ibuku juga mempunyai ribuan koleksi koran nasional seperti Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, Koran Tempo, Republika dan lain-lain sejak tahun 90-an. Juga majalah Tempo, Jakarta-jakarta, Kartini, Femina dan lain-lain.
 
Pusat data berbasis online yang dirancang dan dibangun pada tahun 2007 menggunakan alamat www.indonesiabuku.com, atas pertimbangan efesiensi pengelolaan dikemudian dimigrasikan ke www,radiobuku.com dan warungarsip.co. Radio Buku dan Warung Arsip, selain menjadi pusat informasi internal Taman Bacaan Masyarakan Gelaran Ibuku, juga menjadi rujukan sebagai pusat data dan informasi tentang situasi perbukuan di Indonesia. 
 
Migrasi Gelaran Ibuku dari pusat titik kota Yogyakarta yang mayoritas berbasis masyarakat urban perkotaan, ke desa Panggungharjo yang berbasis urban perdesaan, membawa konsekwensi tersendiri. Terutama pola dan model pendekatan kepada warga, disesuaikan dengan potensi sosial dan peluang kultural yang ada di desa Panggungharjo untuk tetap menggulirkan gerakan literasi masyarakat. 
 
 
PROGRAM KREATIF GELARAN IBUKU (Menghidupkan Buku)
 
1. Radio Buku (Suara Buku Indonesia) 
Banyak sebutan disematkan untuk Yogyakarta. Selain sebagai kota budaya, seni dan pendidikan, juga kota buku. Nyaris semua komponen yang ada dalam buku tumbuh secara bersamaan di Yogyakarta. Perguruan tinggi, lembaga swasta, dan komunitas menciptakan penulis, toko buku, percetakan yang tumbuh di kampung-kampung, penerbit yang hidup di gang-gang, distributor, taman bacaan dan komunitas, pameran dan bazar, serta pembaca. Boleh dibilang Yogyakarta menyiapkan semua pranata yang memungkinkan tumbuhnya produksi dan kehidupan buku. 
 
Gelaran Ibuku merintis Radio buku berbasis internet atau biasa disebut dengan Live Streaming. Radio Buku Live Streaming adalah radio berbasis internet pertama di Indonesia yang mengangkat tema perbukuan dan seputar buku. Diawali dengan pembuatan studio radio yang representatif untuk rekaman dan siaran pada Bulan Oktober 2010. Setelah pembuatan studio radio, dua bulan berikutnya adalah persiapan-persiapan diantaranya masalah manajemen dan program. Pada Bulan Januari 2011, Radio Buku online, namum masih dalam taraf uji coba. Mulai Bulan Februari 2011 Radio Buku eksis online. Radio Buku bisa diakses melalui daring www.radiobuku.com. Selasa sampai Sabtu, pukul 13.00–17.00 dan 19.00-22.00 WIB. Radio Buku mengusung visi “Memasyarakatkan Buku Lewat Radio”. Karena itu mottonya adalah “Mendengarkan Buku”. Tepatnya tanggal 23 April 2011, Radio Buku dilaunching ke publik, sekaligus penanda berdirinya Radio Buku yang bertepatan dengan peringatan Hari Buku Dunia. 
 
Di sini, buku bukan hanya dibaca, tapi juga bisa didengarkan. Termasuk di dalamnya informasi berita sekitar buku, harga buku, isi buku, dan kajian-kajian buku kepada seluruh masyarakat yang tersambungkan dengan internet. Sejak tahun 2015 akhir, Radio Buku juga menyelenggarakan magang jurnalistik dan pelatihan menulis kreatif berbasis Radio setiap tiga bulan sekali yang sudah menghasilkan lima angkatan. Pelatihan ini bertujuan untuk merekrut dan mendidik generasi muda  menjadi jurnalis radio streaming dan penulis muda yang progresif. Dalam perjalanannya, Radio Buku diharapkan bisa terus menerus eksis dan mampu menghidupi Radio Buku sendiri, syukur-syukur bisa memberikan suport dana operasional Gelaran Ibuku. 
 
2. Warung Arsip (Gerakan Revitaslisasi Arsip)
Penulis yang menulis tanpa data akan lumpuh. Wartawan yang menulis tanpa data akan menyesatkan. Seniman yang berkarya tanpa arsip akan kehilangan arah. Perusahaan yang bekerja tanpa arsip akan tumbuh lamban. Jika semua orang ditanya, pentingkah arsip, maka semuanya menjawab penting. Sementara kerap kali arsip juga adalah ihwal yang paling diabaikan. Bahkan hanya satu trip berada di atas sampah.  Lantaran itulah Gelaran Ibuku dan komunitas-komunitas literasi yang sepaham dengannya tak jemu-jemunya mengajak untuk selalu melakukan revitalisasi arsip dengan cara sekreatif-kreatifnya yang dimampui.
 
Meja Arsip adalah alat digitalisasi arsip berupa koran hingga ukuran A0. Ukuran yang demikian umum kita temukan pada koran-koran yang terbit sepanjang abad 20. Digitalisasi arsip adalah solusi bagi komunitas yang memiliki ruang penyimpanan yang terbatas. Selain itu, digitalisasi menjadi model kliping untuk masyarakat di milenium alaf yang hidup di alam digital internet. Sekaligus ini pembeda dengan pola pengklipingan abad 20 yang melahirkan dua maestronya: HB Jassin dan Pramoedya Ananta Toer. Meja Arsip adalah ikhtiar mengubah arsip cetak dalam dunia analog menjadi file-file dalam dunia digital.
 
Warung arsip menjadi program yang memberikan banyak ruang pada generasi muda untuk mengeksplorasi kemampuan jurnalistik, menulis, dan bersosialisasi antar komunitas dan lembaga. Untuk mempersiapkan program ini, Tim Warung Arsip lebih dulu dibekali dengan workshop. Arahan dari program ini adalah untuk mengarsipkan bukti jejak literasi, dari mulai buku, koran, majalah, buletin, poster, undangan, dan media-media lain sebagai saksi sejarah yang hingga kini masih bisa dijumpai. Tim Warung Arsip akan bekerja mewujudkan cita-cita tersebut.
 
3. Belajar Bersama  Menulis Sejarah Kampung (Gerakan Literasi Lokal)
Menulis sejarah kampung merupakan upaya agar masyarakat lebih mengenal diri serta lingkungan di mana mereka tinggal. Bahwa mereka juga punya cerita dan suara yang berhak didengar sebagaimana orang-orang besar. Dengan menuliskan sendiri hal ikhwal kampung di mana mereka berada, mereka juga berproses untuk tidak sekedar menjadi konsumen gagasan tapi juga menjadi produsen yang melahirkan gagasan.
 
Dalam bentangan kawasan, jumlah kampung (baca desa) di Indonesia kurang lebih 75.000 dari 13.000 pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote yang digarisi oleh pantai 95.181 kilometer (km). Dan dari jumlah itu, sebagaimana disarikan BPS sekira 32.379 desa dikategorikan tertinggal. Suatu jumlah yang sangat besar, (sumber: BPS 2007). Yang menarik, nyaris tak ada data yang menginformasikan jumlah kampung yang tak bernama. Semuanya punya nama. Tapi memiliki nama tak berarti memiliki sejarah yang utuh. Sebuah kampung yang memiliki cerita, tuturan, dan silsilah. 
 
Tatkala kampung tak punya cerita, tuturan, dan silsilah hidup, ini hanya menambah rentetan pandangan antropologis dan politik sebelumnya bahwa di mana-mana, orang-orang kecil atau warga biasa tak punya hak untuk memiliki kisah yang menjadikannya hero. Inilah bias pertama penulisan sejarah selama ini yang hanya berbuhul pada ego-ego tertentu dan tempat-tempat tertentu. Dan ini diproduksi secara massal oleh pendidikan di mana murid-murid Pulau Rote atau Sabang dipaksa mengetahui sejarah Diponegoro ketimbang sejarah orang tua atau tetangga atau kisah-kisah yang bisu yang pernah berlangsung di kampungnya.
 
Untuk itu, belajar bersama membaca dan menulis sejarah kampung sudah sepantasnya menjadi gerakan yang perlu dimasifkan dan diterapkan dalam agenda kerja lembaga-lembaga maupun komunitas-komunitas pendidikan masyarakat. 
 
4. Obrolan Senja (Klub Baca)
Obrolan Senja rutin menggelar diskusi setiap bulan sekali pukul 16.00 WIB sampai selesai. Yang didiskusikan atau lebih tepatnya dibedah adalah draft naskah baik itu draf novel, kumpulan puisi, kumpulan cerpen atau tema-tema lain yang oleh penyusunnya dipersiapkan menjadi sebuah buku. Sedangkan pembicaranya adalah penulis/penyusun draf naskah tersebut. Kegiatan ini bertujuan memberikan masukan ataupun saran agar buku yang akan diterbitkan dan disajikan ke publik kelak punya kualitas yang lebih baik. Pesertanya adalah masyarakat umum lingkungan sekitar TBM, mahasiswa, pemerhati sastra, pekerja buku, dan lain-lain. Peserta yang hadir semuanya diminta komentar dan sarannya. Kegiatan ini diharapkan juga menjadi ajang pembelajaran bersama, karena peserta mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru terkait dengan proses kelahiran sebuah buku. 
 
5. Boekoe BIKE (Menjemput Pembaca)
Sepeda Buku, dalam hal ini, selain sebagai bentuk dukungan atas aktivitas bersepeda yang menyehatkan raga dan lingkungan, juga ambil bagian dalam kampanye literasi masyarakat sepeda. Kotak Buku yang dibawanya ke mana-mana menjadi penghubung bahwa buku dan sepeda saudara. Sepeda menyehatkan raga, buku menyehatkan pikiran. Karena itu namanya Boekoe BIKE. Frase itu bila dilafalkan bisa berarti “Buku Baik”. Buku yang berada dalam kotak Sepeda Buku adalah buku-buku bermutu dalam pelbagai genre. Bisa pula dilafalkan “Buku-Bike”, frase yang menandai bahwa pencipta sepeda Buku ini adalah dua komunitas, yakni IBOEKOE dan HUB. IBOEKOE adalah komunitas yang konsens dengan gerakan literasi, buku, dan revitalisasi arsip berbasis kampung; sementara HUB adalah komunitas yang mencintai sepeda sebagai bagian dari gerakan sosial dan lingkungan. 
 
6. Gelaran Ibuku Mengundang 
Gelaran Ibuku Mengundang, mempersilahkan komunitas atau perseorangan untuk mengadakan kegiatan literasi dan buku. Kegiatan itu bisa berupa Bedah Buku, Peluncuran Buku, Diskusi, Pelatihan atau seminar, dan lain-lain. Gelaran Ibuku menyediakan ruang dengan fasilitas pendukung di antaranya ruang pertemuan yang nyaman, LCD proyektor, warung angkringan, studio untuk rekaman, dan halaman parkir yang luas. Komunitas yang sudah menggunakan Gelaran Ibuku untuk menggelar kegiatan literasi, antara lain Komunitas Belajar Menulis (“Metode Penulisan Karya Sastra), Komunitas SLIMs  (“Sinau Bersama Perpustakaan Online”), Goodreads Indonesia Chp Yogyakarta (“Kopdar Buku”), Apresiasi Sastra atau APSAS yang menggelar (“Parade Obrolan Karya, 10 Buku Dibedah dalam Semalam”),  Komunitas penerbit dan penjual buku Indie Jogja, Komunitas RupaSastra, Dewan Budaya Desa Panggungharjo dll.
 
Demikianlah, kami mencoba hadir menjadi bagian dari gerakan literasi masyarakat yang berusaha menguatkan salah satu pilar penggerak negara. Tabik.
 
 
 
 
Faiz Ahsoul. Pegiat Literasi Indonesia Buku/Radio Buku
 
 
Makalah. Dibacakan dalam acara KOPDARNAS Pegiat Literasi di Universitas Muhammadiyah Surakarta, 8-10 Desember 2017. Sesi Diskusi Pertama dengan tajuk Media Literasi dan Perbukuan. 
Posisi makalah ini sebagai suara pembicara pendamping berbasis komunitas literasi. Pembicara pertama adalah Machendra Setya Atmaja, Staf Khusus Mentri Pendidikan dan Kebudayaan yang mewakili unsur pemerintah. Pembicara kedua adalah Djadja Subagdja, dari Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), mewakili asosiasi penerbit (swasta dan pemerintah).
 
 
Oleh: Faiz Ahsoul
(Pegiat Literasi Indonesia Buku/Radio Buku)

Tags: KomunitassebagaiPilarGerakanLiterasiBangsa , KopdarnasPenggiatLiterasi , FaizAhsoul

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website