Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Artikel

Homepage

Kopdarnas Penggiat Literasi: GERAKAN LITERASI DAN PERKEMBANGANNYA

.: Home > Artikel > Majelis
10 Desember 2017 01:30 WIB
Dibaca: 3016
Penulis : Firman Venayaksa

Presiden Joko Widodo menaiki sepeda motor seorang pegiat literasi (Foto courtesy: Setpres RI).

Presiden Joko Widodo menaiki sepeda motor seorang pegiat literasi (Firman Venayaksa) | sumber foto: voaindonesia.com

 

 

Perkembangan gerakan literasi di Indonesia kian hari kian menggembirakan. Selain institusi formal seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Perpustakaan Nasional yang terlibat dan punya kewajiban dalam menumbuhkan budaya baca, para pegiat literasi yang ikut terpanggil dalam menginisiasi komunitas literasi di pelbagai tempat, hadir dan terlibat menjadi bagian dari pengembangan budaya baca. Partisipasi aktif dari elemen masyarakat ini membuktikan bahwa kepedulian terkait budaya baca bukan hanya menjadi milik pemerintah semata.

 

Secara etimologis, literasi diambil dari bahasa latin “literatus” yang berarti orang yang belajar. Menurut Unesco[3], pemahaman seseorang mengenai makna literasi sangat dipengaruhi oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasional, nilai-nilai budaya, dan pengalaman. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa entitas literasi tidak bisa berdiri sendiri. Ia hadir atas pengaruh dari pelbagai institusi sosial yang melingkupinya.

 

Jika menggali dari sisi istilah, maka akan ditemukan beberapa kata yang berdekatan yaitu literacy (literasi), literary, literature/ litere (literatur) bahkan letter (huruf). Terlepas dari istilah-istilah yang muncul tersebut dan pasti akan berkembang sesuai dengan definisi yang dianut, potensi benang merah dari semua itu menukik pada aktivitas membaca dan menulis. Dengan demikian, konsep literasi bermula pada dua keterampilan berbahasa tersebut, sehingga apapun pengembangan definisi literasi, maka ia tidak bisa melepaskan diri dari aktivitas membaca dan menulis.

 

Apa lagi jika merunut pada sejarah dijadikannya tanggal 8 September sebagai International Literacy Day yang didasari dari konferensi Tingkat menteri negara-negara anggota PBB pada tanggal 17 November 1965 di Teheran, Iran. Waktu itu hampir 2/3 masyarakat dunia buta huruf sehingga momentum tersebut menjadi vocal point di dalam mengingatkan dunia mengenai persoalan ini.

 

Jauh sebelum munculnya kesepakatan dari konferensi di atas, kesadaran Indonesia sebagai sebuah bangsa yang mencita-citakan warganya literet sudah mulai diwacanakan oleh Soekarno. Pada tahun 1948, Pemberantasan Buta Aksara dalam skala besar dilaksanakan di seluruh pelosok Nusantara. Kemudian pada tahun 1960, Presiden mengeluarkan mandat yang disebut “Komando Presiden” untuk memberantas buta aksara sampai akhir tahun 1964. Kebijakan Pemberantasan Buta Aksara tetap dilanjutkan walapun pemerintahan beralih ke tangan Presiden Soeharto dengan pelbagai model seperti Pemberantasan Buta Huruf fungsional hingga program Paket A yang dianggap berhasil oleh Unesco sehingga Presiden Soeharto dianugerahi “Aviciena Award”

 

Pada saat itu, pemerintah berupaya keras agar masyarakat yang sudah “melek huruf” agar tidak kembali buta aksara. Ketersediaan akses bacaan bisa mengakibatkan masyarakat kembali buta aksara. Atas dasar itu, pada tahun 1992, pemerintah melalui Direktorat Pendidikan Masyarakat, membuat kebijakan dengan menyediakan Taman Bacaan masyarakat di pelbagai daerah, terutama di pelosok desa yang padat buta aksara. Namun seperti yang diungkapkan di dalam penelitian Haklev (2008: 19) penyelenggaraan TBM hanya dibuat sebagai program jangka pendek dan tidak pernah dibuat menjadi pendukung program jangka panjang. Koleksi-koleksinya difokuskan pada buku-buku mengenai Pancasila, doktrin pemerintah dan propaganda politik Orde Baru, yang membuat TBM tidak menarik bagi masyarakat setempat dan tidak mendapatkan dukungan dari mereka.

 

Seiring runtuhnya Orde Baru dan berkembangnya semangat pembaharuan, sejumlah masyarakat kelas menengah, LSM, anak-anak muda, intelektual kampus dan mahasiswa yang berada di kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta dan Jogjakarta kemudian mendirikan Taman Bacaan yang lebih independen yang selanjutnya berkembang menjadi sebuah gerakan literasi hingga saat ini ketika pemerintah dianggap belum optimal dengan pengembangan budaya baca. Taman bacaan yang digagas ini tidak hanya menyediakan bahan bacaan untuk dibaca secara gratis. Taman Bacaan sudah bermetamorfosis menjadi learning center, bedah buku, pelatihan menulis, dan pelatihan soft skills lainnya.

 

Pengembangan budaya baca mulai direformulasi oleh Kementerian Pendidikan Nasional pada sekitar tahun 2008  dengan didirikannya Sub-Direktorat Budaya Baca di bawah Direktorat Pendidikan Masyarakat. Fungsi dari subdit Budaya Baca salah satunya adalah membina Taman Bacaan Masyarakat yang sempat tidak terlalu banyak diurus lagi oleh Pemerintah. Kehadiran subdirektorat ini awalnya membawa angin segar bagi para pengelola TBM di Indonesia. Pembinaan yang dilakukan tidak hanya memberi stimulan berupa blockgrant bagi lembaga TBM tetapi ikut melakukan pemberdayaan bagi para pengelolanya. Namun kebijakan tersebut tidak berlangsung lama. Perubahan SOTK yang awalnya subdirektorat turun menjadi seleval “seksi” Walaupun demikian, beberapa terobosan seperti “Gerakan Indonesia Membaca” pada tahun 2015 yang di dalamnya terdapat program “Kampung Literasi” cukup menjadi daya tarik dalam pengembangan budaya baca di Indonesia dan masih bertahan hingga kini. Bahkan pada tanggal 28 Oktober 2017, Mendikbud Muhadjir Effendy mencanangkan Gerakan Literasi Nasional, sebuah inisiasi yang patut dirayakan.

 

Pertanyaan selanjutnya, mengapa literasi menjadi tren baik di kalangan pemerintah, institusi formal hingga komunitas? Bagi Indonesia yang hingga kini masih dilabeli sebagai negara berkembang, urusan literasi (dengan definisi yang lebih general) belumlah usai. Indonesia masih dibayang-bayangi oleh kemampuan literasi yang rendah. Menurut data Unesco, pada tahun 2012, minat membaca masyarakat Indonesia hanyalah 0,001. Itu artinya dari 1000 penduduk, hanya 1 orang yang mau membaca dengan serius. Pada pemeringkatan terbaru, menurut data World’s Most Literate Nations, yang disusun oleh Central Connecticut State University tahun 2016, Indonesia berada pada peringkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti. Indonesia hanya satu peringkat lebih baik dari Botswana, sebuah Negara miskin di kawasan selatan Afrika. Aspek yang diuji antara lain perpustakaan, Koran, input sistem pendidikan, output sistem pendidikan, dan ketersediaan komputer. Disangkal atau tidak, angka-angka tersebut tentu menjadi bahan refletif yang tak bisa diabaikan begitu saja.

 

Sementara untuk urusan akses media internet, Indonesia justru masuk dalam peringkat ke-6 besar sebagai pengguna internet terbesar setelah Cina, Amerika serikat, India, Brazil dan Jepang.[4] Problematika yang dilematis seperti inilah yang sekarang ini terjadi di Indonesia. Jika lebih dari 83,7 juta masyarakat Indonesia mengakses internet pada tahun 2014, dan menurut perkiraan eMarketer pada tahun 2017 ini akan meningkat mencapai 112 juta orang dan diprediksi mengalahkan Jepang, pertanyaannya digunakan untuk apakah masyarakat Indonesia ketika mengakses internet? Jawabannya media sosial. Masyarakat Indonesia menempati rangking ke-2 di dunia setelah Amerika serikat. Fenomena anomali ini mengharuskan pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang lebih strategis. Mungkin dari sisi ini pula, ada kesadaran literer yang tumbuh dari masyarakat dalam upaya membangun gerakan literasi, walupun masih terkesan parsial.

 

 

Budaya Baca

 

Dalam konsep budaya membaca, setidaknya ada tiga pengelompokkan yaitu iliterat, aliterat dan literat. Iliterat adalah masyarakat yang sama sekali tidak mengenal dunia baca-tulis. Aliterat adalah masyarakat yang sudah terbebas dari buta aksara. Mereka bisa membaca dan menulis tetapi tidak menjadi bagian dari kebudayaannya. Sementara kelompok yang ketiga adalah masyarakat literat yaitu masyarakat yang sudah menjadikan membaca dan menulis terfungsikan dan menjadikannya sebagai sebuah kebudayaan. Jika melihat pengelompokkan tersebut, masyarakat Indonesia, kendati masuk dalam peringkat ke-2 di dunia yang menggunakan facebook, masih dianggap menjadi bagian masyarakat yang aliterat karena secara konsep dan karakteristiknya, pengguna media sosial hanya memakai tulisan sebagai alat komunikasi lisan. Artinya kendati memakai sarana “letters” tetapi penggunaannya lebih cenderung untuk “lisan”. Dengan demikian, korelasi antara pengguna media sosial dengan budaya baca dianggap tidak terlalu relevan.

 

Namun kondisi ini berbanding terbalik dengan kehadiran dari para pegiat literasi yang mendirikan komunitas literasi seperti Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di berbagai daerah. Kegiatan literasi yang telah dilakukan oleh pelbagai pihak tersebut bahkan mendapatkan apresiasi dari Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, dengan mengundang pegiat literasi dan pengelola TBM ke istana Presiden yang jatuh bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan nasional tanggal 2 Mei 2017. Di dalam sejarah perkembangan literasi di Indonesia, baru kali ini seorang Presiden mengapresiasi langsung kerja-kerja literer yang dilakukan oleh masyarakat tersebut. Dari hasil pertemuan tersebut, disepakati bahwa negara menanggung pengiriman buku gratis tiap tanggal 17 setiap bulannya. Dengan demikian, entitas para pegiat literasi yang hadir di masyarakat sudah mulai diperhatikan.

 

TBM yang diselenggarakan oleh masyarakat dan untuk masyarakat bertujuan untuk memberi kemudahan akses kepada warga masyarakat untuk memperoleh bahan bacaan. Di samping itu, TBM berperan dalam meningkatkan minat baca, menumbuhkan budaya baca dan cinta buku bagi warga belajar dan masyarakat. Secara khusus TBM dimaksudkan untuk mendukung gerakan pemberantasan buta aksara yang antara lain karena kurangnya sarana yang memungkinkan para aksarawan baru dapat memelihara dan meningkatkan kemampuan baca tulisnya. TBM juga ditujukan untuk memperluas akses dalam memberikan kesempatan kepada masyarakat mendapatkan layanan pendidikan (Depdiknas, 2008). TBM memiliki fungsi sebagai sarana pembelajaran bagi masyarakat, sarana hiburan dan pemanfaatan waktu secara efektif dengan memanfaatkan bahan-bahan bacaan dan sumber informasi lain, sehingga warga masyarakat dapat memperoleh pengetahuan dan informasi baru guna meningkatkan pengetahuan mereka, sarana informasi berupa buku dan bahan bacaan lainnya yang sesuai dengan kebutuhan warga belajar dan masyarakat.

 

Direktorat Pendidikan Masyarakat (2009) menyatakan bahwa Taman Bacaan masyarakat adalah sebuah wadah/tempat yang didirikan atau dikelola baik masyarakat maupun pemerintah yang berfungsi sebagai sumber belajar untuk memberikan akses layanan bahan bacaan yang sesuai dan berguna bagi masyarakat sekitar. Kelompok masyarakat tersebut perlu terus dibina dan dikembangkan ke arah terbentuknya masyarakat informasi atau masyarakat yang cerdas. Mengingat pentingnya perpustakaan umum sebagai perpustakaan masyarakat umum, sehingga UNESCO, yaitu badan PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) yang bergerak dalam bidang pendidikan dan kebudayaan) menyatakan “perpustakaan umum sebagai media kehidupan bangsa.

Di sisi lain, problematika TBM sebagai lembaga atau hanya sekadar program (merujuk Permendikbud 81 tahun 2013) masih menjadi dilema tersendiri. Di beberapa tempat, Pemerintah Daerah tidak bersedia mengeluarkan Surat Izin Operasional dikarenakan belum adanya acuan regulasi terkait dengan TBM. Di dalam Permendikbud tersebut, TBM masih dianggap sebagai program yang menjadi pelengkap di Satuan Pendidikan seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), sementara di masyarakat, banyak TBM lahir secara independen dan menjadi learning society.

 

 

Literasi

 

Literasi adalah penggunaan praktik-praktik situasi sosial dan historis, serta kultural dalam menciptakan dan menginterpretasikan makna melalui teks. Literasi memerlukan setidaknya sebuah kepekaan yang tak terucap tentang hubungan-hubungan antara konvensi-konvensi tekstual dan konteks penggunaannya serta idealnya kemampuan untuk berrefleksi secara kritis tentang hubungan-hubungan itu. Literasi bersifat dinamis, tidak statis, dan dapat berada di antara diskursus komunitas dan wacana kebudayaan. Literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif. Pengetahuan bahasa tulis dan lisan. Jenis-jenis pengetahuan dan pengetahuan kebudayaan (Kern, 2000).

 

Dari pendapat Kern di atas, literasi sangat luas cakupannya. Terkait dengan pendidikan literasi, Kern membagi atas tujuh hal yaitu:

 

(1) Literasi melibatkan interpretasi,

Penulis/ pembicara dan pembaca/ penyimak berpartisipasi dalam tindak interpretasi, yakni: penulis/ pembicara menginterpretasikan dunia (peristiwa, pengalaman, gagasan, perasaan dan lain-lain) dan pembaca/ penyimak kemudian menginterpretasikan interpretasi penulis/ pembicara dalam bentuk konsepsinya sendiri tentang dunia.

 

(2) Literasi melibatkan kolaborasi,

Terdapat kerjasama antara dua pihak yaitu penulis/ pembicara dan pembaca/ penyimak. Kerjasama yang dimaksud itu dalam upaya mencapai suatu pemahaman bersama. Penulis/ pembicara memutusan apa yang harus ditulis/ dikatakan atau yang tidak perlu ditulis/ dikatakan berdasarkann pemahaman mereka terhadap pembaca/ penyimaknya. Sementara pembaca/ penyimak mencurahkan motivasi, pengetahuan dan pengalaman mereka agar dapat membuat teks penulis bermakna.

 

(3) Literasi melibatkan konvensi,

Orang-orang membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara itu ditentukan oleh konvensi/ kesepakatan kultural (tidak universal) yang berkembang melalui penggunaan dan modifikasi untuk tujuan-tujuan individual. Konvensi disini mencakup aturan-aturan bahasa baik lisan maupun tertulis.

 

(4) Literasi melibatkan pengetahuan kultural,

Membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara berfungsi dalam sistem-sistem sikap, keyakinan, kebiasaan, cita-cita dan nilai tertentu. Sehingga orang-orang yang berada di luar suatu sistem budaya itu rentan/ beresiko salah dipahami oleh orang-orang yang berada dalam sistem budaya tersebut.

 

(5) Literasi melibatkan pemecahan masalah,

Karena kata-kata selalu melekat pada konteks linguistik dan situasi yang melingkupinya, maka tindak menyimak, berbicara, membaca dan menulis itu melibatkan upaya membayangkan hubungan-hubungan di antara kata-kata, frase, kalimat, unit-unit makna, teks dan dunia. Upaya membayangkan/ memikirkan/ mempertimbangkan ini merupakan suatu bentuk pemecahan masalah.

 

(6) Literasi melibatkan refleksi/ refleksi diri,

Pembaca/ penyimak dan penulis/ pembicara memikirkan bahasa dan hubungan-hubungannya dengan dunia dan diri mereka sendiri. Setelah mereka berada dalam situasi komunikasi mereka memikirkan apa yang telah mereka katakan, bagaimana mengatakannya dan mengapa mengatakan hal tersebut.

 

(7) Literasi melibatkan penggunaan bahasa.

Literasi tidaklah sebatas pada sistem-sistem bahasa (lisan/ tulisan) melainkan mensyaratkan pengetahuan tentang bagaimana bahasa itu digunakan baik dalam konteks lisan maupun tulisan untuk menciptakan sebuah wacana/ diskursus.

 

Dari pendapat Kern di atas mengenai pendidikan literasi, maka bisa disimpulkan bahwa pengembangan pendidikan literasi bersifat dinamis dan disesuaikan dengan konteksnya.  Hal ini senada dengan konsep pendidikan literasi Abad ke-21 yang ditulis oleh Thoman dan Jolls (2003: 8) Mereka mencoba membandingkan perbedaan antara konsep pembelajaran sebelum dan ketika di Abad ke-21 ini.

 

 

19th-20th  Century Learning

21st Century Learning

Limited access to knowledge and information (i.e. content) primarily through print

Infinite access to knowledge and information (content) increasingly to the internet

Emphassis on learning content knowledge that may not be used in life

Emphasis on process skills for lige long learning

Goals is to master content knowledge (literature, history, science, etc)

Goal is to learning skills (access, analyze, evaluate, create) to solve problem

Fact of information are “spoon-fed” by teachers to students

Teachers use discovery, inquiry-based approach

Print-based information analysis

Multimedia information alalysis

Pencil/ pen and paper or word processing for expression

Powerfull multimedia technology tools for expressions

Classroom-limited learning and dissemination

World-wide learning and disseminations

Textbook learning from one source, primarily print

Real world, real time learning from multiple source, mostly visual and electronic

Conceptual learning from one source, primarily print

Project-based learning on team basis

Lock-step age-based exposure to content knowledge

Flexible individualized exposure to content knowledge

Teacher selecting and lecturing

Teacher framing and guiding

Teacher evakuates and assesses work and assigns grade

Students learn to set criteria and to evaluate own work

Teaching with state-adopted textbooks for subject area with little accountability for teaching

Teaching to state education standard with testing for accountability

 

 

Dari bagan di atas dijelaskan perbedaan yang mendasar antara pendidikan tradisional yang diselenggarakan pada masa lalu dengan menjadikan guru sebagai “pusat ilmu pengetahuan” diubah untuk mempersiapkan siswa dalam menjalani hidup mereka dalam budaya media pada abad ke-21. Pendidikan literasi media, dengan penyelidikan sebagai intinya, menyediakan jembatan pengikat yang bisa dilewati siswa dengan pembelajaran keterampilan kritis, agar tidak hanya bertahan tetapi berkembang seperti orang dewasa di abad ke-21. Hal ini senada seperti yang dikatakan oleh Alvin Tofler bahwa yang disebut orang yang iliterat pada abad ke-21 bukan lagi orang yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi mereka yang tidak mau belajar, tak hendak belajar dan tak mau belajar lagi. Jadi kuncinya adalah belajar sepanjang hayat (long life education).

 

Pada perhelatan World Economic Forum tahun 2015, titik tekan yang paling penting di dalam pertemuan tersebut adalah terkait dengan pengembangan enam literasi dasar yaitu literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial dan literasi budaya dan kewarganegaraan. Berikut ini penjelasan dari enam kemampuan dasar (Kemdikbud, 2017)

 

  1. Literasi baca-tulis adalah kemampuan untuk membaca, memahami, dan menggunakan bahasa tertulis.
  2. Literasi numerasi adalah kemampuan untuk menggunakan angka-angka dan simbol-simbol lain dalam rangka memahami dan mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif.
  3. Literasi sains adalah kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan prinsip-prinsip saintifik untuk memahami lingkungan dan menguji hipotesis.
  4. Literasi teknologi informasi dan komunikasi adalah kemampuan untuk menggunakan dana menciptakan konten berbasis teknologi, termasuk menemukan dan membagikan informasi, menjawab pertanyaan, berinteraksi dengan orang lain dan pemrograman komputer.
  5. Literasi finansial adalah kemampuan untuk memahami dan mengaplikasikan aspek-aspek konseptual dan numerikal dari dunia keuangan.
  6. Literasi kebudayaan dan kewarganegaraan adalah kemampuan untuk memahami, mengapresiasi, menganalisa, dan mengaplikasikan pengetahuan mengenai kemanusiaan.

 

Pengembangan enam literasi dasar tersebut diyakini akan bisa menjadi bekal bagi bangsa Indonesia untuk ikut bersaing bahkan memenangi persaingan global dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat untuk bisa bersaing dengan negara lain.

 

 

Dr. Firman Hadiansyah (Firman Venayaksa). Ketua Forum TBM Periode 2015-2020, Dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten.

 


Makalah ini disampaikan pada Kopdarnas Pegiat Literasi, Mejelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Solo, 8-10 Desember 2017.

 

[3]Unesco, Understanding of Literacy, http://www.unesco.org/education/GMR2006/full/chapt6_eng.pdf diunduh pada tanggal 14 April 2017 pukul 01.36


Tags: GerakanLiterasidanPerkembangannya , KOpdarnasPenggiatLiterasi , FirmanVenayaksa

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website