Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Artikel

Homepage

Haji Haddis, Bendaharawan Sejati Muhammadiyah

.: Home > Artikel > Majelis
18 Juli 2020 21:51 WIB
Dibaca: 1188
Penulis : Haidir Fitra Siagian

  

Haji Haddis dan gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Sulawesi Selatan

 

 

Dalam melaksanakan ibadah atau kegiatan yang bersifat muamalah, Islam senantiasa menganjurkan untuk dilakukan secara tertulis atau mencatatkannya. Terutama dalam hal keuangan dan jual beli, baik secara tunai maupun sebaliknya. Pencatatan sangat penting sebagai bentuk administrasi yang rapi dan terpercaya.
 
Boleh dikatakan bahwa Islam telah memulai mengajarkan teknik administrasi yang baik, yakni dengan mencatat dan menyimpan data yang valid. Hal ini sangat penting dilakukan, jangan dianggap sepele, bahkan dengan nilai yang sedikit pun, seyogiyanya tetap dicatat. Menjalankan administrasi yang baik dalam arti yang sesungguhnya, akan menghindari praduga dan kecurigaan, juga fitnah yang berujung kepada konflik.
 
Konsep inilah yang diperpegangi para pimpinan Muhammadiyah masa lalu, terutama di tingkat Wilayah Sulawesi Selatan. Orang yang bertanggung jawab dalam hal pencatatan keuangan disebut sebagai bendaharawan. Dalam tuntunan administrasi Muhammadiyah, sudah ada pola yang baku. Ada buku kas Muhammadiyah. Berdasarkan buku kas yang tercatat dengan baik, akan mudah diketahui posisi keuangan organisasi. Dari mana sumbernya dan diapakan. Lebih dari itu, juga menunjukkan, apakah penggunaan keuangan sesuai dengan peruntukan yang telah ditentukan sesuai mekanisme organisasi.
 
Sejak saya bergabung dengan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan tahun 1990 sebagai staf, saya merasakan betapa pencatatan keuangan Muhammadiyah sangat rapi. Dan yang diamanahkan untuk mengerjakan itu adalah Bapak Drs. H. Haddis, seorang lelaki yang lebih suka menjadi pendiam dari Kabupten Enrekang. Beliau mengamalkan tuntunan administrasi keuangan Muhammadiyah dengan baik. Bahkan bisa dikatakan sangat baik.
 
Innalillahi wainna ilaihi rajiun semoga senantiasa mendapat tempat yang paling mulia di sisi Allah Swt dan kepada keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan keikhlasan hati. Kemarin (Sabtu, 17 Juli 2020) beliau telah berpulang ke rahmatullah, memenuhi panggilan Ilahi Rabbi. Pak Haddis adalah orang yang sangat tekun dan cermat dalam hal pencatatan keuangan Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Saya sendiri tidak akan mampu melakukan hal sebaik yang beliau lakukan. Itu dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Kekeliruan sedikit, bisa berakibat fatal.
 
Saya bekerja dengan beliau hampir dua puluh tahun. Mulai tahun 1990 sampai tahun 2010. Dalam ingatan saya, sebenarnya almarhum sudah menjadi staf Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan mulai tahun 1974, atau sama dengan usia saya sekarang, 46 tahun. Untuk ukuran orang yang bekerja, usia 46 adalah waktu yang cukup lama, pengabdian yang tulus dan murni. 
 
Dengan demikian almarhum Haji Haddis telah mengabdikan dirinya sebagai staf Muhammadiyah Sulawesi Selatan di bawah kepemimpinan delapan orang Ketua, yakni H. Ahmad Makarausu Amansyah (1975-1977),  Drs. Muhammad Saleh Hamdani (1977-1980), K.H. Muhammad Sanusi Maggu (1980-1984), K.H. Djamaluddin Amien (1984-2000),  Drs. K.H. Nasruddin Razak (2000-2005),  Drs. K.H. Baharuddin Pagim (2005-2010), Dr. H. Muh. Alwi Uddin M.Ag. (2010-2015) dan terakhir Prof. Dr. H.  Ambo Asse, M.Ag. (2015-sekarang). Saya sendiri menjadi staf hanya berada dibawah kepemimpinan tiga orang Ketua, yakni K.H. Djamaluddin Amien (1990-2000), Drs. K.H. Nasruddin Razak (2000-2005), dan Drs. K.H. Baharuddin Pagim (2005-2010).
 
Mengapa Pak Haji Haddis begitu lama sebagai bendaharawan kantor Muhammadiyah Sulawesi Selatan?  Mungkin tidak ada seorang pun yang dapat memegang jabatan tersebut sebegitu lama. Tentu karena dia adalah orang yang jujur, amanah, dan profesional. Dalam hal pencatatan keuangan, saya dapat merasakan betapa beliau sangat telaten dan cermat.
 
Pengeluaran dalam bentuk apapun dan berapapun nilainya harus dicatat. Tahun 1990-an, untuk memfotocopy surat dua lembar saja, harus memakai nota atau kwitansi. Membeli satu bungkus teh pun, harus memiliki nota. Jika tidak memakai nota, maka beliau tidak akan mengganti  uangnya. Demikian pula halnya untuk sesuatu yang menurut ukuran kita, tidak perlu memakai nota, tetapi bagi beliau, perlu dibuatkan notanya. Misalnya, suatu ketika masih tahun 1990-an, saya diminta membeli kue-kue untuk konsumsi rapat. Saya membeli kue di pedagang kecil, tak jauh dari kantor. Tentu penjual seperti ini tidak punya kertas nota. Solusinya adalah saya membawa selembar kertas, mencatat nama kue-kue yang dibeli, berapa yang dibeli dan harga satuannya, tuliskan nominal harganya, lalu minta kepada penjual menandatanganinya.
 
Jangan heran dalam lemarinya, penuh dengan nota-nota pembelian barang. Bahkan bertumpuk-tumpuk dalam karton. Makanya ketika pemeriksaan keuangan dalam setiap menjelang Musyawarah Wilayah, tim pemeriksa keuangan, akan kerepotan memeriksa nota-nota tersebut satu per satu. Walaupun yang diperiksa adalah pencatatan keuangan saja, akan tetapi bagi Pak Haji Haddis, harus dilengkapi dengan bukti fisik. Bukti fisik berupa nota-nota inilah yang menjadi senjata pamungkas, bila ada hal yang dipertanyakan atau menjadi temuan tim pemeriksa.
 
Selain rapi dalam mencatat lalu lintas keuangan, Pak Haji Haddis, juga dalam pandangan saya, adalah sangat hemat dalam mengeluarkan uang. Dia tahu pada masa itu, uang organisasi Muhammadiyah sangat terbatas. Uang organisasi adalah amanah umat, yang harus dipergunakan dengan baik. Beliau berprinsip, bahwa jika sesuatu itu masih bisa dilakukan tanpa mengeluarkan uang, maka sebaiknya dikerjakan saja oleh staf saja. Masih tahun 1990-an, saya pernah diminta mengecat bagian depan kantor Muhammadiyah yang berlantai dua. Padahal mestinya, untuk mengecat adalah pekerjaan tukang yang khusus untuk itu. Jadilah saya mengecatnya dengan menggunakan tangga, yang kadang jika melihat ke bawah itu, cukup mengerikan.
 
Dengan kedua sifat seperti ini, yakni cermat dalam pencatatan keuangan dan hemat dalam pengeluaran, inilah yang menjadikan tetap dipercaya menjadi Bendaharawan Muhammadiyah Sulawesi Selatan selama hampir setengah abad. Meskipun setiap periode ada pergeseran posisi staf kantor PWM Sulsel, tetapi bagian keuangan tetap dipercayakan kepada beliau, siapapun yang menjadi Ketua saat itu.
 
Di samping itu, salah satu sifat almarhum adalah kesederhanaannya, dalam berbagai hal. Saya tahu bahwa honor atau gaji kami sebagai staf Kantor Muhammadiyah, tidaklah seberapa. Tetapi sama sekali, tak pernah saya dengar keluhan dari beliau. Menikmati dan mensyukuri apa yang ada. Bahkan menikmati dan mensyukuri apa yang tidak ada atau yang belum ada. Dalam pandangan orang luar, saat itu Muhammadiyah memiliki banyak uang. Sehingga banyak pemintaan sumbangan dari berbagai pihak. Padahal tidak selalu demikian adanya. Kadang ada, kadang tidak ada.  
 
Satu lagi hal yang saya catat dari almarhum adalah, bahwa tingkat kepercayaan pimpinan kepadanya sangat tinggi. Tak pernah kedengaran sesuatu yang tidak baik dalam tugasnya. Meskipun beliau pemegang kas, tak pernah ada masalah negatif terkait dengan kas tersebut. Semuanya dilaksanakan dengan sikap yang jujur dan terpuji, selama lebih dari 40 tahun. 
 
Almarhum juga tidak terlalu banyak mengurus atau mengatur urusan yang bukan urusannya. Dia tak peduli apa yang dikatakan oleh orang lain. Yang penting tanggung jawabnya dia jalankan dengan baik. Tahun 2005, dalam Musywil di Parepare, almarhum pernah diminta kesediaan untuk dicalonkan menjadi anggota PWM Sulsel. Tetapi beliau tidak bersedia, dengan alasan, cukup dia menjadi staf saja.  
 
Meskipun sudah hampir sepuluh tahun kami “berpisah” dari pekerjaan, saya tetap berusaha menjaga hubungan dengan beliau. Dua tahun lalu, sebelum berangkat ke sini, pada saat Idul Fitri  1439 H, saya sempat mengajak keluarga silaturahmi ke rumahnya di belakang Universitas Bosowa.
 
Beliau sangat senang atas kehadiran kami. Saat itu beliau memang sedikit sudah kurang-kurang sehat, selain faktor usia yang sudah hampir tujuh puluh tahun. Sesaat sebelum kami mohon diri, beliau sempat meminta istrinya membungkuskan kue-kue lebaran untuk kami pulang ke rumah. Mungkin itulah saat terakhir kami bertemu. Semoga Allah Swt. memberi tempat yang layak di sisi-Nya. Insya Allah.
 
Wassalam
 
Keiraville, New South Wales, Australia
Ahad, 18 Juli 2020 jelang tengah malam
 
Penulis adalah rekan kerja almarhum, mantan Kepala Kantor PWM Sulsel tahun 2005-2010

Tags: HajiHaddisBendaharawanSejatiMuhammadiyah , MuhammadiyahSulawesiSelatan
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : Tokoh Muhammadiyah

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website