Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Artikel

Homepage

NU, Muhammadiyah dan Pancasila

.: Home > Artikel > Majelis
18 November 2018 16:31 WIB
Dibaca: 1793
Penulis : Ahmad Syafii Maarif

politik_-_syafii_maarif_gus_dur_baru

foto: srengenge.id

 

 

30 Januari lalu (tahun 2009; ed.), saya dihubungi oleh C. Holland Taylor dari LibForAll Foundation. Pertama, bertanya kabar kesehatan saya. Saya jawab bahwa saya telah pulih dari penyakit saya. Kemudian Taylor mennyampaikan bahwa Gus Dur (Abdurrahman Wahid) ingin mengunjungi saya di rumah saya di Yogya. “Bukankah lebih baik jika saya mengunjungi Gus Dur di Jakarta?” Saya menyarankan. “Tidak,” jawab Taylor, “karena Gus Dur yang ingin datang kepada Anda.” Saya jawab, “Jika ada agenda lain membawa Gus Dur ke Yogya, lalu dia mengunjungi rumah saya, tidak ada masalah. Saya akan menunggunya. "

 

Begitulah, hari berikutnya - 31 Januari, sekitar pukul 3.45 sore. - Gus Dur dan rombongannya menjadi tamu saya selama sekitar dua jam, sampai sekitar pukul 5.45. Diantara rombongan Gus Dur, ada sejarawan M. Nursam, ada juga mantan Ibu Negara, Ibu Sinta Nuriyah, datang dengan kursi rodanya, yang  tak lama kemudian pamit karena ada agenda lain.

 

Ditemani Taylor, selama dua jam Gus Dur berbincang-bincang dengan saya, sepanjang waktu itu mantan presiden RI ini tidak bergeser dari kursi rodanya. Saya mengamati bahwa antusiasme Gus Dur untuk hidup memang luar biasa. Seolah-olah dia tidak memperhatikan sedikit pun berbagai penderitaan dan keterbatasan fisik yang dialaminya. Mobilitasnya tetap tinggi, baik dalam perjalanan domestik maupun internasional. Tidak lama sebelum ini, ia mengunjungi Korea Selatan selama seminggu.

 

Sebelumnya Taylor memberi tahu saya bahwa Gus Dur sangat peduli dengan kesehatan saya, yang sangat menyentuh saya. Diskusi kami selama dua jam ini tidak hanya fokus pada satu topik saja, melainkan mencakup berbagai masalah, tentang bangsa kita, komunitas Muslim, Muhammadiyah, NU dan politik. Gus Dur berbicara panjang lebar tentang jalan yang diikuti oleh NU sejak kelahirannya, setelah menjadi partai politik pada satu titik, dan kemudian kembali ke khittah pendiriannya pada 1926. Dia menyebutkan beberapa tokoh yang pada tahun 1950-an telah mendorong NU untuk memasuki dunia politik. dan berbagai dampaknya yang terjadi pada organisasi Muslim yang sangat besar ini.

 

Perkembangan NU terakhir agaknya membuat Gus Dur bisa bernafas lebih leluasa, adalah fakta bahwa hubungan antara NU dan Muhammadiyah semakin dekat, terutama berkaitan dengan isu pemikiran Islam dan perilaku inklusif, dimana kedua sayap utama Islam Indonesia ini saling terlibat bahu-membahu. Komentar saya sore itu: "Semua ini terjadi karena faktor 'Gus Dur.' Anda menciptakan 'revolusi pemikiran' dalam NU, meskipun tidak semua pemimpin NU dapat menerimanya. Namun di kalangan generasi muda, Gus Dur telah menjadi ikon intelektual, dengan pengaruh yang sangat besar. Kepedulian Gus Dur kepada kaum muda NU benar-benar menakjubkan. ”

 

Penting untuk disebutkan di sini bahwa generasi muda pemimpin NU yang dibentuk oleh Gus Dur, entah secara sadar atau kebetulan, sangat dekat dengan saya. Kami saling bertukar pikiran di setiap kesempatan, dan semakin merasa bahwa kami berbagi pandangan yang sama tentang Islam, kemanusiaan, dan bangsa kami, sama seperti Gus Dur melihat dan merasakan hal-hal yang sama di hadapan kami. Perkembangan positif ini sangat signifikan bagi masa depan Indonesia, karena NU dan Muhammadiyah tidak perlu lagi membuang-buang energi memperdebatkan Pancasila sebagai fondasi negara bangsa kita.

 

Tetapi ada persyaratan; yaitu, bahwa nilai-nilai mulia Pancasila harus dimanifestasikan dalam perilaku aktual, tidak hanya digantung pada tiang atau dijadikan sebagai retorika politik kosong untuk mencapai tujuan duniawi. Proses menerima Pancasila memang lebih halus di NU daripada Muhammadiyah. Di Muhammadiyah, penerimaan terhadap Pancasila disertai dengan perdebatan keras selama Muktamar di Surakarta 1985. Sehubungan dengan perdebatan ini, pernyataan sebelumnya oleh Ketua NU Kyai Ahmad Siddiq - bahwa NU telah mencapai konsensus akhir, dan sepenuhnya menerima Pancasila sebagai dasar negara bangsa kita - telah memasuki ranah publik.

 

Karena saya lebih tua beberapa tahun dari Gus Dur, saya merasa tidak ada beban sore itu. Gus Dur menunjukkan bahwa dia membebaskan diri dari keterlibatan dalam politik kekuasaan, yang menghabiskan begitu banyak energi. Setelah satu dekade terlibat dalam politik, Gus Dur akhirnya dapat kembali ke habitat aslinya, dan menjadi payung perlindungan untuk bersatu dan melindungi bangsa kita. Terhadap pandangan ini Gus Dur sepakat, namun ia mengatakan bahwa diperlukan masa transisi sekitar dua tahun, untuk meluruskan partai politiknya (PKB).

 

Namun, Gus Dur mengamati, bahwa perubahan di Indonesia harus terjadi melalui politik, dan ini tidak dapat dipisahkan dari posisi partai politik. Mungkin pertimbangan inilah yang mendorong Gus Dur untuk membentuk PKB, partai politik yang jalannya tidak selalu mulus.

 

Sore itu adalah pertemuan yang paling bermakna bagi saya dari banyak pertemuan saya dengan sosok hebat ini. Kami sebelumnya telah bertemu di markas Muhammadiyah di Jakarta, dan juga markas NU di Jakarta, beberapa bulan sebelum Gus Dur menjadi presiden pada tahun 1999, di samping pertemuan-pertemuan di berbagai forum lain, baik formal maupun informal. Untuk beberapa perbedaan pendapat kami tentang topik tertentu, pertemuan sore itu akan ditindaklanjuti dengan pertemuan yang lain.

 

 

Diterjemahkan dari artikel berbahasa Inggris dengan mesin Google Translate dan diedit ulang oleh AB.Ch. Untuk membaca artikel asal, silahkan kunjungi: http://www.libforall.org/lfa/media/2009/Gatra_The-NU-Muhammadiyah-and-Pancasila_04-06-09.pdf

 

*) Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005.


Tags: NU , MuhammadiyahdanPancasila , AhmadSyafiiMaarif

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website