Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Artikel

Homepage

Muhammadiyah dan Politik Pembebasan

.: Home > Artikel > Majelis
22 Februari 2019 19:11 WIB
Dibaca: 1596
Penulis : David Efendi, S.IP., M.Si., M.A.

Image result for tanwir muhammadiyah bengkulu
 
 
Sikap dan posisi Muhammadiyah di tahun politik setiap lima tahunan selalu dipertanyakan dan sebenarnya juga selalu ada jawaban. Sama sekali, Muhammadiyah tidak anti demokrasi, bahkan Muhammadiyah memiliki kultur egaliter, autonom, inklusif, dan transformative yang dibutuhkan di dalam pembangunan negara demokratis. Posisi Muhammadiyah dalam demokrasi elektoral khususnya pilpres secara langsung selalu ‘di tengah’ sejak babak kedua pemilu presiden 2004. Baik memposisikan ‘jaga jarak dan jaga kedekatan’ notabene adalah berada di tengah (politics of inclusion). Berpolitik moderat atau as Siyasah Washatiyyah. Posisi di tengah ini bukan tanpa karakter, tetapi itu adalah jalan ketiga yaitu politik pembebasan (liberasi) yang secara sadar dilakoni melintasi beragam tipologi rezim di republik ini. 
 
Posisi politik Muhammadiyah dengan demikian dapat disebut sebagai politik yang inklusif, cenderung merangkul dan memberikan nilai ketimbang hasrat segera mendapatkan posisi kuasa dan kontrol atas publik dan sumber daya kesejahteraan. Jika politik dipahami sebagai praktik tindakan ekslusi dan alienasi alias mengamodir sebagian (in group) dan memusuhi serta menghancurkan yang liyan (the others) yang tidak kompatibel dengan kepentingannya. Wajar saja, Muhammadiyah dalam membicarakan politik selalu lebih kuat subtansi pemberian nilai-nilai maslahat untuk keadaban publik ketimbang siasat. 
 
Pembebasan untuk keluar dari kemelut yang menguras energi di dalam Rumah besar persyarikatan, dan pembebasan untuk mengapresasi keragaman sikap dan derajat interaksi dan harapan politik elit dan warga Muhammadiyah di tengah pusaran politik praktis. 
 
Muhammadiyah tidak berpolitik, tetapi Muhammmadiyah memberikan kebebasan kepada warga Muhammadiyah di dalam menentukan sikap politik. Bahkan, demi kepentingan bangsa yang besar Muhammadiyah mendorong warga Muhammadiyah agar sportif menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Amal politik Muhammadiyah dapat dilakukan anggota Muhammadiyah secara proporsional  yang mengandalkan nilai bukan semata-mata mempraktikkan banalitas teknologi kekuasaan. Bahkan Muhammadiyah mengapresiasi kadernya yang menjalani politik kepartaian dan elektoral. Inilah salah satu penggalan bagaimana Muhammadiyah mendorong keadaban politik dan menempatkan kepentingan bangsa menjadi utama tanpa harus tercerabut dari barisan organisasi yang memang didesain tidak memerankan politik kepartaian. 
 
Dalam dinamika kesejarahan, pemimpin dan kader Muhammadiyah terlibat aktif dalam dinamika politik kebangsaan Republik Indonesia. Bukan rahasia lagi bila tokoh-tokoh Muhammadiyah terlibat aktif dalam penyusunan dasar-dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti KH Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo, serta Prof. Kahar Mudzakkir. Mereka berinteraksi dengan berbagai macam kelompok, golongan, agama, dan ideologi politik yang berbeda untuk membangun kesapakatan bersama (common platform) tentang kebangsaan. Keterlibatan ini telah memberikan yurisprudensi keteladanan dan sekaligus  inspirasi bagi generasi sekarang.
 
 
Fragmentasi Elit
 
Setidaknya ada empat varian sikap politik elit Muhammadiyah dalam Pemilu prosiden yaitu pertama, posisi fundamentalisme politik atau kubu yang cenderung terlibat dan aktif dalam politik praktis dan menjadikan seolah-olah ‘politik sebagai panglima’. Kedua, moderat pasif yaitu kelompok bahwa Muhammadiyah adalah “ummatan washatan”, berada di tengah-tengah umat dan tidak menghendaki perpecahan atau pertengakaran di dalam peran partisipasi politiknya. Ketiga, kelompok moderat aktif. Keterlibatannya menjadi model Pendidikan kritis di dalam proses pemilu. Kelompok ini memandang politik sebagai kegiatan ‘sampingan’ bukan urusan utama. Keempat, kelompok Khittahisme. Yaitu kelompok yang mengikuti keputusan organisasi secara taat, “sami’na waatho’na”. Artinya mereka selalu menggunakan Khittah sebagai tolak ukur perjuangan dalam ranah politik. Dalam praksisme politik, mereka cenderung menjaga jarak dan tidak mau terjebak dalam “lumpur” politik penuh intrik. Kelompok ini juga mengklaim bahwa berdakwah lewat Muhammadiyah juga tidak kalah mulia dengan berjuang di ranah politik praktis. Terakhir, kelompok Apolitis. Kelompok ini cukup pesimis dan kurang percaya pada mekanisme demokrasi liberal. 
 
Keragaman pilihan politik baik di tubuh elit atau warga Muhammadiyah hanya bisa dipecahkan dengan membangun demarkasi politik secara kelembagaan—Muhammadiyah netral, sebuah terminologi yang tidak menarik bagi partisan politik. Namun, inilah bentuk teologi pembebasan politik ala Muhammadiyah. Inilah yang paling mampu dan terbukti menggaransi organisasi islam modern ini akan tetap bertahan. Orientasi kerja dan karya menjadi merk dagang yang dapat secara efektif mengalihkan ambisi-ambisi politis kalangan Muhammadiyah. “Jika di Muhammadiyah kamu tidak punya etos kerja nyata, kamu tidak akan diperhitungkan.”, kira-kira itu secara halus tertanam dalam kader-kader dan pengurus Muhammadiyah di segala tingkatanya.
 
Mengenai pergeseran politik di Muhammadiyah secara apik dikaji oleh Syaifullah dalam bukunya Pergeseran Politik Muhammadiyah (2019) meyakinkan kepada pembaca bahwa keterlibatan Muhammadiyah secara praktis sebagai bagian dari partai politik (Masyumi) dan dalam posisinya terpisah secara tegas dari partai politik keduanya tidak secara signifikan memposisikan Muhammadiyah memiliki daya tawar politik yang berbeda sehingga ini menjadi legitimasi bahwa langgam politik Muhammadiyah di tengah arus liberalisasi politik. Kekuatan oligarkis yang berdiaspora dalam partai-partai nasional  juga menyulitkan Muhammadiyah untuk berada dalam keyakinan bahwa Muhamamdiyah akan mewarnai jagad politik dengan terlibat lebih dalam, sistemik, dan struktural. 
 
Secara analogis, posisi Muhammadiyah sekarang ini dalam politik lebih dapat digambarkan sebagai politik garam ketimbang politik gincu. Posisi ini nampaknya menjadi fenoman keberlanjutan dan perubahan (continuity and change). Posisi tangguh Muhammadiyah dalam siklon politik hari ini tetaplah seperti posisi Muhammadiyah di tengah kecamuk pra revolusi kemerdekaan, namun ada ‘kreatifitas’ politik yang berbeda sesuai zaman dan suara kebatinan warga Muhammadiyah. Pasca reformasi, khususnya pada pemilu 1999 dan juga piplres 2004 mendorong Muhammadiyah masuk dalam agensi transformasi kekuasaan melalui proses elektoral lebih dalam dan intensif. Setelah itu, Muhammadiyah berhasil melakukan recovery dari pengalaman dramatis-nya, dan juga berhasil survive di dalam rezim yang cenderung alienatif terhadap posisi politik Muhammadiyah (2004-2014). 
 
Kapasitas Muhammadiyah  untuk survival of the fittes dalam Darwisnisme politik kekuasaan menjadikan Muhammadiyah sangat tegar dan ringan di dalam menjalani interaksi politik pasca pilpres 2014. Ketegangan politik cukup minor, tidak kentara dan ‘kabinet kerja’ Muhammadiyah relative dianggap sangat kompatibel dengan the rulling party.  Muhammadiyah di usianya yang lebih dari serratus tahun juga cenderung tetap bertahan dan berkembang sehingga Muhammadiyah telah teruji mampu mempertahankan keseimbangan politik kebangaan dari apa yang disebut tragedy of the common—dimana politik menjadi panglima, kue kekuasan yang terbatas diperebutkan semakin banyak aktor dan semakin brutal untuk memenangkan pertempuran. Logika politik yang sangat mirip dengan kapitalisme yang mengancam segala sesuatu yang ada di jagad raya. 
 
Sangat disadari oleh Muhammadiyah bahwa kehidupan organisasi tidak berada di dalam ruang hampa politik namun demikian cara berpolitik Muhammadiyah tidak berada dalam logika keterancaman, peran politiknya sebagai dakwah berkeadaban di ruang publik. Politik nilai tinggi (high politics) dan bukan politik rendahan (low politics) yang mendorong Muhammadiyah mengawal dan memastikan bahwa kiblat pembangunan bangsa ini menuju perbaikan dan kemajuan untuk sebesar-besarnya kepentingan bangsa. Politisasi agama dan juga praktik patogenik dalam demokrasi terutama di era ‘merajanya informasi dan sosial media’ juga membuat daya tahan di dalam peran-peran  Muhammadiyah ini mendapatkan ujian yang tidak ringan. 
 
beragama yang mencerahkan sebagai pesan utama dan mendasar Tanwir Muhammadiyah tahun politik ini juga memberikan pesan bahwa berpolitik juga harusnya membawa misi harapan, optimisme, dan pencerahan dan bukan melipatgandakan praktik tuna keadaban di dalam arus kompetisi politik lima tahunan[].
 
 
David Efendi
Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Tags: MuhammadiyahdanPolitikPembebasan

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website