Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Artikel

Homepage

Menyongsong Kopdarnas Penggiat Literasi: SAHABAT LITERASI PAI UM SURABAYA

.: Home > Artikel > Majelis
04 Desember 2017 23:52 WIB
Dibaca: 1418
Penulis : Muhammad Septian Hammam Muhyiddin

Perkenalkan nama Saya Muhammad Septian Hammam Muhyiddin, asal saya Surabaya, saya kuliah di UMSurabaya, Semester 3, Prodi S1 Pendidikan Agama Islam. Saya disini perwakilan dari komunitas SERASI (Sahabat Literasi PAI) UMSurabaya. Saya akan berbagi pengalaman saya kepada jenengan, pengalaman saya dari semester 1 sampai semester 3 ini tentang literasi.

 

Pada awalnya SERASI PAI tahun ini baru berjalan 1 tahun waktu saya semester 2 awal. Waktu itu saya dan teman-teman PAI dari semester 2-8 mengikuti pelatihan oleh 2 dosen PAI UMSurabaya yang bernama Pak Arfan dan Pak Charis. Kedua dosen inilah yang mengajari dan menyeleksi saya dan teman-teman PAI bagaimana cara kita membuat cerita pendek. Adapun caranya sebagai berikut, yang pertama, membuat 1 kata di tengah, yang kedua, bercabang jadi 4 kotak 1 kotak berisi 1 kata, yang ketiga bercabang jadi 16 kotak 1 kotak tadi dipecah lagi jadi 4, sama 1 kotaknya itu 1 kata setelah itu memilih dari kotak yang pertama terus pilih 1 kata dari 4 kata tersebut lalu pilih lagi 1 kata dari 16 kotak tersebut setelah memilih 3 kata kemudian dijadikan cerita dalam 1 paragraf terdiri dari 6 baris.

 

Setelah saya dan teman dicoba untuk membuat cerita pendek dengan 1 paragraf itu hasilnya dikumpulkan. Saya dan teman-teman berjumlah 30 orang akhirnya terpilih mengikuti proses selanjutnya tentang SERASI PAI UMSurabaya. Saya, teman-teman, dan 2 dosen tersebut menginginkan agar SERASI ini dapat perjalan dengan semestinya. 2 dosen tersebut mewajibkan kepada 30 mahasiswa PAI untuk membuat tulisan apapun itu di web FAI UMSurabaya selama 1 bulan sekali. Setelah itu 2 dosen tersebut membuat grup WA SERASI (Sahabat Literasi PAI UMSurabaya) dengan berisikan 30 mahasiswa yang keterima/lolos ke babak selanjutnya.

 

Selanjutnya, 2 dosen tersebut menginformasikan bahwa siapa yang mau menjadi delegasi SERASI di ITS Surabaya max 5 orang untuk mengikuti kopdar di ITS salah satunya saya sendiri, teman saya 1 kelas yang lain dari semester atas. Adapun syarat setelah mengikuti acara tersebut ialach membuat rangkuman minimal 3 halaman dari pemateri KOPDAR di ITS. 5 mahasiswa dalam acara KOPDAR tersebut mendapatkan masing-masing 3 macam buku dari SPN (Sahabat Pena Nusantara). Adapun pematerinya bernama Hernowo Hasim,  Much. Khoiri, Muhammad Chirzin, Ngainun Naim.

 

Inilah Ringkasan dari KOPDAR IV SPN di ITS. Bapak Hernowo Hasim mengisi tentang Latihan “Menulis Mengalir Bebas” untuk menyamankan dan melejitkan kemampuan menulis. Berisikan teknik “free writing” ala Elbow dan Goldberg, saya pakai untuk berlatih menulis tanpa bentuk dalam tiga jalur. Jalur pertama untuk membebaskan pikiran, jalur kedua untuk mengeksplorasi gagasan, dan jalur ketiga untuk mengikat makna. Durasi waktu yang saya pakai untuk jalur pertama 2 atau 5 menit, jalur kedua 10 menit, dan jalur ketiga 15 menit. Saya melakukannya berselang-seling hampir setiap hari.

 

Ketika mempraktikkan teknik “free writing”, saya mengikuti dua petunjuk yang berasal dari Elbow dan Goldberg. Petunjuk pertama dari Elbow diringkaskan dengan baik oleh Radhar Panca Dahana: “’Menulis bebas’ ini sederhana, semacam disiplin kecil untuk tiap hari menulis tanpa henti selama 10 menit. Bukan untuk menghasilkan tulisan bagus tetapi sekadar menulis tanpa prosedur sensor dan editing. ‘Tak perlu melihat ke belakang (lagi), tak ragu melanggar sesuatu, tak peduli bagaimana ejaan atau bahkan memikirkan apa yang tengah kamu kerjakan’. Satu-satunya aturan: Jangan berhenti menulis!”

 

Ringkasan Radhar tersebut saya temukan dalam pengantar untuk buku terjemahan Elbow, Merdeka dalam Menulis! (iPublishing, Jakarta, 2007). Judul pengantar Radhar, “Metabolisme Tulisan”. Jadi, ketika Anda berlatih menulis bebas, tolong perhatikan dengan saksama hal ini: (1) menulis tanpa henti dalam durasi waktu tertentu (gunakan alarm), (2) menulis tanpa sensor dan tanpa perbaikan, (3) tidak memedulikan apa yang ditulis dan juga abaikan kaidah-kaidah berbahasa dalam menulis. Jika ada satu aturan yang perlu diperhatkan ya hanya ini: Jangan berhenti menulis sebelum bel (alarm) berbunyi.

 

Dalam bahasa Goldberg, sebagaimana diringkaskan oleh Yuliani Liputo, penerjemah buku Goldberg, petunjuk melakukan “free writing” itu demikian: “Metode ‘free writing’ yang ditawarkan Goldberg mudah saja. Sisihkan waktu khusus untuk menulis setiap hari selama sepuluh menit. Berkomitmenlah selama sepuluh menit itu hanya untuk menulis, terus (tanpa henti) menggerakkan pikiran dan tangan, menumpahkan segala yang ada di dalam pikiran dan perasaan Anda.” (Lihat Alirkan Jati Dirimu: Esai-Esai Ringan untuk Meruntuhkan Tembok Kemalasan Menulis [Penerbit MLC, 2005]).

 

Dalam jalur pertama untuk membebaskan pikiran, saya menyetel alarm kadang 2 atau 5 menit. Setelah alarm saya setel, saya menulis bebas—hanya mengetik tombol mesin ketik—tanpa berpikir. Artinya, saya mengetikkan apa saja. Kadang ketikan saya tak bermakna seperti ini: “Bahae2846b jag6wjva j6qhisvS SGW JSJSU ntwn.” Yang penting, saya tidak risau dan tidak tertekan selama menulis bebas dalam jangka waktu 2 atau 5 menit tersebut. Saya ingin membebaskan pikiran dari tekanan.

 

Dalam jalur kedua untuk mengeksplorasi gagasan, saya menentukan topik yang hendak saya tulis. Biasanya durasi waktunya juga saya perpanjang menjadi 10 atau 15 menit. Setelah menyetel alarm, saya menuliskan topik di layar laptop saya. Misalnya, topik itu adalah “Mengatasi Konflik dalam Rumah Tangga”. Dan dalam jalur ketiga untuk mengikat makna, saya tentu harus membaca teks terlebih dahulu. Teks yang saya baca juga tidak harus banyak. Saya menyebut kegiatan membaca ini sebagai membaca ngemil.

 

Kopdar IV Sahabat Pena Nusantara di ITS Surabaya. Foto: bumipajo-edu.blogspot.co.id

 

Inilah Ringkasan dari KOPDAR IV SPN di ITS dengan Bapak Much. Khairi, mengisi tentang Menulis Buku untuk Warisan: Jangan Mati sebelum Menulis Buku. Kalau saya tangkap dari materi ini, saya mendapatkan ilmu tentang warisan ilmu, maksudnya itu apabila seseorang ingin dikenal cucu-cucunya maka orang tersebut membuat buku untuk dikenal sama cucu-cucunya.

 

Inilah Ringkasan dari KOPDAR IV SPN di ITS dengan Bapak Muhammad Chirzin mengisi tentang Mengikat Makna MASNAWI, dengan isinya Masnawi-i-Ma’nawi  adalah masterpiece Jalaluddin Rumi. Karangan bersajak tentang makna-makna terdalam ajaran agama. Terdiri atas 25.000 bait prosa lirik. Sumber lain menyebutnya terdiri atas 40.000 bait. Ditulis dalam bahasa Persia pada abad ke-13 oleh Rumi, sufi besar sepanjang zaman. Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad bin Husain al-Balkhi (Balkh, Afghanistan, 30 September 1207-16 Desember 1273).

 

Masnawi ditulis untuk memenuhi permintaan Husamuddin, salah seorang murid sekaligus sahabat Rumi yang terkemuka. Abdul Rahman Al-Jami, sufi Persia abad ke-15 M menyatakan bahwa Masnawi merupakan “tafsir Al-Quran yang indah dalam bahasa Persia.” Maksudnya, takwil atau tafsir keruhanian terhadap ayat-ayat Al-Quran yang ditulis dalam bentuk karangan bersajak yang indah.

 

Inilah Ringkasan dari KOPDAR IV SPN di ITS dengan Bapak Ngainun Naim, mengisi tentang Menyunting Naskah: Catatan Berbasis Pengalaman. Menyunting naskah secara sederhana dapat dimaknai sebagai kegiatan pemeriksaan kembali suatu tulisan atau naskah sebelum dipublikasikan. Sebuah naskah dibuat biasanya melalui tiga tahap, yaitu persiapan, penulisan, dan penyuntingan. Naskah yang dibuat tanpa proses penyuntingan memiliki peluang kesalahan teknis dan substansi. Pada titik inilah, proses penyuntingan berfungsi untuk meminimalisir kekurangan sebuah naskah.

 

Proses penyuntingan bisa dilakukan terhadap tulisan sendiri dan bisa juga dilakukan terhadap tulisan orang lain. Mengacu pada pengertiannya, maka kegiatan menyunting naskah mengharuskan saya membaca secara cermat terhadap naskah yang harus saya sunting. Tentu tidak hanya berhenti dengan membaca saja, tetapi juga melakukan proses perbaikan. Karena itu menyunting naskah disebut juga sebagai kegiatan mengedit.

 


Tags: SahabatLiterasiPAIUMSurabaya , KopdarnasPenggiatLiterasi , MuhammadSeptianHammamMuhyiddin

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website