Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Artikel

Homepage

Menyongsong Kopdarnas Penggiat Literasi: PERJALANAN RUMAH BACA KOMUNITAS 2012-2015

.: Home > Artikel > Majelis
07 Desember 2017 02:43 WIB
Dibaca: 1995
Penulis : Fauzan A Sandiah

Image result for rumah baca komunitas

 

 

 

Buntut dari kebutaan panjang adalah ketidaktahuan kita akan pentingnya gerakan literasi, tentu saja dengan pengertian sifat yang emansipatif. Sebab, bagaimana pun gerakan literasi telah dikenal secara anakromisme dalam narasi yang sebenarnya jauh dari kesan emansipatif. Bahkan hal itu perlahan tapi pasti nyaris menjangkiti gerakan literasi bahkan yang dikelola independen dari struktur Negara. Di luar itu, beberapa gerakan literasi dalam pengertian yang tak absolut dengan makna “gerakan membaca” atau “gerakan pemberantasan buta huruf” tengah tumbuh segar di tangan pegiat-pegiat yang acuh dengan publikasi-publikasi. Sekalipun begitu, akhir-akhir ini karena ketertarikan media maupun karena jejaring mereka semakin kuat dengan kehadiran gerakan yang serupa di berbagai tempat, tak terelakkan lagi mereka saling terhubung. Jangan kaget, jika gerakan literasi tidak hanya terhubung dengan media sebagai bentuk publikasi profil, tetapi turut masuk sebagai gerakan sosial terpenting awal abad 21 di Indonesia, suatu bentuk transformasi yang tak terrimajinasikan bagi Negara maju. Gerakan literasi di Indonesia, dalam hal ini dari beberapa sisi banyak dipengaruhi oleh Brazil ketimbang Eropa atau Amerika.

 

Tanggal 2 Mei tahun 2012, dalam rumah kontrakan seadanya di daerah Onggobayan, Bantul, Yogyakarta berdiri Rumah Baca Komunitas. Tuntutan dan tanggungjawab sebagai anak bangsa untuk segera mengambil peran sekecil apapun merupakan cara untuk menahan laju kerusakan. Luka-luka bangsa yang terlanjur jadi borok berkepanjangan. Identitas kebangsaan kita nyaris abu-abu dalam kacamata kemanusiaan, meskipun adapula yang tentunya masih melegakan. Keretakan relasi sosial, eksploitasi berkepanjangan dan tak rasional, kekerasan, hingga kemiskinan, selalu menjadi tantangan Indonesia.

 

Tidak ada cara selain terus bergerak meskipun harus dilakukan dengan skala terkecil sekalipun. Harus ada segenap pihak yang mau mengambil peran untuk membangun kekuatan bersama, dan saling memperkuat. Musuh kita sekarang adalah “Kebodohan” ini adalah salah-satu biang keladi terdahsyat kemelaratan bangsa. Kondisi bangsa yang terpuruk bisa dibangun kembali dengan menumpas kebodohan. Eksploitasi alam dan manusia bersumber dari “kebodohan” yang telah menutup rasionalitas manusia. Di tengah kondisi yang seperti itu, RBK mencoba lahir sebagai gerakan literasi.

 

Gebrakan awal yang dilakukan tentunya adalah dengan menyediakan sebanyak mungkin bahan bacaan. Rumah kontrakan tempat RBK bermukim sudah didaulat sebagai perpustakaan kecil. Beberapa pengurus bentukan awal RBK mulai menghubungi teman-teman dekat yang bersedia menyumbangkan atau sekedar menitipkan buku-bukunya ke RBK. Langkah ini ternyata disambut dengan antusias oleh mahasiswa, dosen, hingga Ibu rumah tangga. Alhasil sebulan bergerak, buku-buku mulai membanjiri kantor RBK yang saat itu bertempat di Onggobayan.

 

RBK menawarkan gagasan bahwa gerakan literasi merupakan salah-satu ujud dari keinginan untuk “segera berbuat”. Ada banyak komunitas lain yang kehadirannya telah mendorong RBK semakin kuat. Meskipun bukan dalam format gerakan literasi, komunitas-komunitas itu telah memberikan inspirasi bahwa konsep berbagi adalah jalan keluar alternatif. Pada masa-masa awal, pegiat RBK berhasil mengumpulkan sekitar seribu buku. Selain buku, bahan bacaan lain seperti majalah, tabloid, koran, jurnal, dan lain sebagainya juga berhasil dikumpulkan. Proses pengumpulan bahan bacaan tersebut berlangsung selama lima bulan hingga satu tahun. Setelah bahan bacaan terkumpul, proses distribusi terhadap berbagai komunitas literasi dilakukan oleh RBK.

 

Kegiatan-kegiatan yang diusung oleh RBK bukan perjuangan literasi dalam arti yang lazim dikenal seperti gerakan taman baca, tapi juga perjuangan lainnya yang serumpun dengan semangat pemberantasan kebodohan. RBK mendisain “kantor”nya untuk beragam tujuan. Selain perpustakaan, kantor RBK juga dijadikan sarana belajar masyarakat, anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. RBK mengadakan sejumlah aktivitas seperti perpustakaan jalanan, ekoliterasi, diskusi reboan, dejure, kursus komputer gratis, bioskop edukasi sederhana, penerbitan majalah, sekolah literasi dan lain sebagainya. Upaya-upaya ini diharapkan menjadi gerbong awal dari semangat mencerdaskan bangsa.

 

RBK bergerak berdasarkan epos yang diyakini harus diperjuangkan. Maka, pada tahun 2013, RBK dengan berbagai kondisi yang ada menjalankan gerakan literasinya secara bergembira. Saat itu, RBK hanya dikelola oleh empat sampai enam orang saja. Pertemuan rutin pegiat RBK dilakukan satu minggu sekali. setiap minggu kami mengadakan diskusi yang kadang-kadang terdiri dari dua atau tiga orang. Saat itu pegiat RBK sadar betul bahwa perjuangan literasi sedang memasuki tahap transisi yang cukup penting. Maka, mengawalinya dengan bertekad tanpa patah arang adalah satu-satunya cara. Proses itu membawa pegiat RBK ke dalam kesadaran untuk selalu bergembira untuk setiap langkah dijalankan.

 

Apa yang dilakukan oleh RBK sejak 2012 hingga 2013 juga dilakukan oleh gerakan literasi yang lain. RBK juga mengalami apa yang lazim dialami oleh gerakan literasi lain. Niat dan tekad pegiat RBK memang sedang diproses melalui pengalaman-pengalaman. Pegiat RBK sadar bahwa problem yang ditemuinya saat itu pasti akan terjadi lagi di tahun depan. Maka, pegiat RBK selalu melakukan diskusi reflektif untuk memupuk semangat juang pegiat RBK. Tidak mudah, tapi pegiat RBK tidak ingin menyebutnya sulit. Karena, dalam menjalankan gerakan literasi, satu hal yang sangat penting adalah perasaan senang.

 

 

 

 

Tahun 2012: Madzab Onggobayan

 

RBK berdiri pada tanggal 2 Mei tahun 2012, meskipun keterangan historis menyatakan bahwa RBK lahir menurut proses yang panjang. Di antara sekian nama tersebut, yang saya ingat adalah Ahmad Sarkawi, Irfa Fahd Rizal, Fida Afif, Labib Ulinuha, serta banyak nama yang tidak saya ingat lagi. Kalau dirunut ke belakang lagi, maka banyak nama yang sebenarnya terlibat. Kelompok-kelompok literasi kecil tersebut dijalankan secara kolektif tanpa terikat. Maka, RBK tidak lahir dalam bentuk yang didisain sejak awal. RBK lahir dari proses yang dijalani oleh pegiat literasi sehari-hari. Maka pelabelan tanggal kelahiran RBK sebenarnya tidak menyatakan keterangan historis yang sebenarnya. Penggunaan tanggal 2 Mei sebagai hari kelahiran RBK pada kenyataannya adalah semacam konsensus saja. Meski begitu, spirit pendidikan yang diasosiasikan terhadap tanggal 2 Mei digunakan RBK dalam rangka apresiasi.

 

Tahun 2012, hal pertama yang dilakukan RBK adalah proses pengumpulan bahan literasi. Gerakan Hibah yang dilakukan oleh LaPSI (Lembaga Pengembangan Sumberdaya Insani) diafirmasi RBK melalui program Gerakan Hibah Buku Nasional. Program tersebut memiliki dua tujuan utama, pertama RBK berniat menjadi wadah distribusi yang berperan merekomendasikan kepada pihak penghibah atau donatur untuk menyalurkan buku-bukunya. RBK memiliki rekomendasi tempat-tempat literasi. Tujuan kedua, adalah RBK mengambil peran sebagai perawat buku, dahulu disebut “memberdayakan buku”. Artinya, buku yang diperoleh RBK melalui gerakan hibah dimanfaatkan untuk kebutuhan banyak orang. Buku-buku itu dikelola agar dapat digunakan oleh masyarakat. RBK menyediakan tempat agar buku dapat diakses 24 jam setiap oleh siapa saja. Rumah kontrakan di daerah Onggobayan (Bantul) disewa oleh RBK sebagai tempat komunitas. Rumah kontrakan itu dibuka selama 24 Jam untuk membaca. Peminat pada saat itu sudah datang dari berbagai kalangan dan ragam usia.

 

Pegiat RBK bebas mengusulkan dan menjalankan berbagai program yang memperkuat perjuangan literasi. Misalnya, ada program Meningkatkan Minat Baca Anak dilakukan dengan aktivitas “Koin Literasi”, yakni setiap anak yang selesai membaca buku akan diberikan koin literasi kemudian memasukkannya ke dalam celengan agar dapat mengakses komputer atau komik. Cara yang diperkenalkan oleh Irfa tersebut disukai oleh anak-anak yang terbiasa bermain di RBK. Selain itu juga ada program Bimbingan Belajar Anak dan Remaja yang dilakukan melalui aktivitas Belajar Bersama setiap sore. Ada juga kegiatan belajar melukis yang difasilitatori oleh Mas Turi, beliau adalah seorang karikatur majalah dan koran. Seminggu sekali pegiat RBK rutin mengadakan Nobar (nonton bersama) film-film edukatif.

 

Aktivitas dan program RBK di tahun 2012 memang banyak didedikasikan bagi anak-anak. Berkaitan dengan hal itu, ada konsep menarik yang disebut community learning (CL), yakni sebuah konsep belajar berbasis komunitas yang berusaha digunakan, dan merupakan cikal bakal RBK For Kidz. Konsep CL digunakan oleh RBK karena mengandung nilai emansipatif dan egaliterian. Konsep CL berasumsi bahwa proses belajar berbasis komunitas dapat mendorong pengetahuan berakar dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menggunakan CL, hirarki pengetahuan secara sosiologis hendak dikritisi. Secara ekstrim terkadang dimaknai bahwa setiap orang adalah murid sekaligus juga guru. Secara tidak langsung, CL ini berakar dari model pendidikan kritis yang banyak berkembang dalam diskusi maupun praktik pendidikan populer yang ditekuni oleh pegiat-pegiat RBK. CL inilah yang menandai model madzab Onggobayan (nama dusun di mana RBK dilahirkan).

 

  Gerakan Cinta Warung Tetangga

 

 

Tahun 2013: Madzab Paris

 

Rumah kontrakan RBK di Onggobayan ditempati selama satu tahun. Bulan Februari 2013, RBK pindah ke Jl. Parangtritis, biasa disebut Paris. Perpindahan lokasi RBK pertama ini banyak menandai atau secara khusus menjadi simbol berbagai hal di RBK. Sebelum RBK memutuskan untuk pindah ke Paris, diadakan rapat untuk membahas lokasi kontrakan yang baru RBK. Saat itu memang ada beberapa alasan mengapa RBK tidak dapat memperpanjang kontrakan. Melalui Ahmad Sarkawi (Kak Wiek), kami mendapatkan rekomendasi sebuah rumah di Jl. Parangtritis. Rumah itu dikelola oleh Pak Ridwan, beliau adalah dosen UII, aktivis PII, pengelola BMT di Sleman, dan seorang yang mencintai dunia literasi. Rumah di Jl. Parangtritis disewa sejumlah Rp. 3.500.000,00. Sebenarnya biaya itu termasuk murah, karena RBK hanya mengganti biaya perbaikan rumah termasuk sanitasi saja. Uang sewa diperoleh dari donasi banyak pihak, termasuk swadaya dari pegiat RBK sendiri. Biaya listrik saat itu juga ditanggung oleh Pak Ridwan. Rumah yang digunakan RBK terdiri atas ruang tengah, dua kamar, kamar mandi, dan satu ruang dapur.

 

Perjuangan literasi RBK di tahun 2013 diawali oleh refleksi bersama (istilah RBK untuk rapat). Beberapa nama yang hadir saat itu ialah Kak Wiek, Fikri Fadhilah, Panggih Priyo Subagyo, Cak David, dan Saya. Dalam rapat kami membahas dinamika RBK selama satu tahun di Onggobayan. Pertama, kami membahas evaluasi pegiat RBK, dan cerita-cerita berkenaan dengan program serta aktivitas selama di Onggobayan. Kedua, kami membahas hal positif apa saja yang harus diafirmasi sebagai kekuatan di tahun 2013 bagi RBK. Selesai rapat kami berbagi peran, Cak David yang awalnya merupakan Direktur RBK menjadi Pembina RBK, Kak Wiek menjadi Direktur RBK, Fikri, Panggih, dan Saya masing-masing menjadi kordinator Rumah tangga, Kefasilitatoran, dan Divisi Riset.

 

Proses berbagi peran selesai dalam waktu yang tidak lama. Beberapa hari setelah itu kami memulai proses penataan buku-buku, sambil menyicil membersihkan rumah. Saat itu Pak Ridwan meminta kami agar mengundang anak-anak sekitar Paris untuk mengunjungi RBK. Kata Pak Ridwan, kehadiran RBK harus segera diketahui oleh anak-anak. Akhirnya, kami mengundang anak-anak sekitar untuk ramah-tamah. Kami memperkenalkan diri dan mengajak anak-anak untuk ikut memanfaatkan waktu di RBK. Pertemuan ramah-tamah tersebut menjadi awal aktivitas RBK For Kids. RBK banyak didukung oleh gerakan-gerakan sosial yang digagas oleh mahasiswa lintas kampus, semacam Xynergy untuk menjalankan RBK For Kids. Aktivitas ini berlangsung hingga akhir tahun 2013.

 

Sewaktu pindah ke Paris, pegiat RBK berkomitmen untuk memperkuat basis gerakan dengan berbagai macam diskursus. Seminggu sekali diadakan diskusi kecil untuk mengkaji berbagai topik. Tampaknya, salah-satu semangat penting dari diskusi yang diadakan RBK saat itu adalah menggemakan spirit partisipasi. Aktivitas berdiskusi pegiat RBK sejak tahun 2012 merupakan tonggak penting.

 

Keunikan khusus RBK di tahun 2013 adalah diskusi yang sangat intens. Pertemuan-pertemuan sesama pegiat selalu diwarnai oleh diskusi. Memang saat itu tidak mudah menjaga semangat diskusi mengingat jumlah peserta diskusi selalu tidak lebih dari lima orang. Setiap diskusi biasanya terdiri atas Kak Wiek, Mascu, dan Saya sendiri. Tetapi keseriusan diskusi tidak pernah berkaitan dengan jumlah peserta diskusi. Keseriusan diskusi adalah bagian lain dari sikap menelaah keadaan aktual berdasarkan pada ketajaman analisis. Maka, proses pembentukan kesadaran, di dalam diskusi menjadi titik penting. Diskusi RBK melibatkan berbagai macam hal. Komitmen dalam menghargai forum diskusi sebagai tempat untuk “belajar bersama” terus dilakukan. Mengenai komitmen tersebut, pegiat RBK belajar untuk mengapresiasi setiap argumentasi secara tepat. Setiap argumentasi dianalisis dan dikembangkan bersama. Proses tersebut memang memakan waktu yang tidak singkat. Meskipun begitu, setiap kali mengadakan diskusi tampak bahwa komitmen “belajar bersama” sangat penting untuk dipertahankan dalam diskusi. Ahmad Sarkawi yang saat itu menjadi direktur RBK memandang forum diskusi sebagai “arena pembebasan”, pertama-tama harus berangkat dari persepsi bahwa setiap orang setara. Ilmu pengetahuan harus mengakar dengan manusia sebagai subjek yang mereproduksinya. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dengan segala tingkatannya harus diapresiasi.

 

Forum diskusi di RBK sebenarnya memiliki nama. Sewaktu di Onggobayan, pegiat RBK memiliki forum diskusi yang disebut Dejure yang berarti “diskusi jum’at sore”. Sedangkan di Paris, nama forum diskusi tidak ada. Meskipun begitu, istilah Dejure tetap dipertahankan sebagai nama aktivitas diskusi. Kajian feminisme, postmodernisme, hingga teori sosial kontemporer menjadi pendukung dari diskusi-diskusi pegiat RBK. Pak Ridwan pada saat itu juga memperkaya diskusi pegiat RBK dengan topik ekonomi kerakyatan. Pak Ridwan memberikan kesempatan pegiat RBK untuk memanfaatkan koleksi pribadinya seputar ekonomi kerakyatan ala Mohammad Hatta. Lewat Pak Ridwan juga saya mengenal karangan-karangan Hatta yang susah diperoleh di pasaran. Misalnya, koleksi-koleksi makalah Hatta. Selain itu, Pak Ridwan selalu menemani saya berdiskusi soal ide-ide Islam menurut Hamka. Di sela-sela waktu saya sendirian di kantor RBK, Pak Ridwan selalu membuka diskusi. Hal itu, memberi warna tersendiri selama masa-masa berkembangnya RBK di Paris.

 

Di Paris, topik diskusi yang berkaitan dengan feminisme banyak dibincangkan dengan Kak Wiek, panggilan akrab Ahmad Sarkawi. Topik diskusi ekonomi dan Islam dari Pak Ridwan. Sedangkan dari Cak David, kami memulai diskusi seputar politik keseharian (everyday politic). Topik diskusi dengan Cak David berkembang terus hingga ekonomi-politik. Hal ini menjadi menarik sebab, Pak Ridwan juga mulai membahas kritik Hatta terhadap Karl Marx. Maka, diskusi seputar ekonomi-politik di Paris menjadi semakin berwarna. Apalagi, di Paris kami mulai menemukan lagi sastra dan seni pembebasan. Cak David yang memiliki banyak koleksi novel Pramoedya Ananta Toer, Kak Wiek yang mulai mendorong pegiat RBK agar terbiasa dengan puisi, serta Pak Ridwan yang memulai diskusi seputar roman Hamka membuat kombinasi yang sangat baik.

 

Panggih, seorang pegiat yang berasal dari Kulonprogo juga memperkenalkan pegiat RBK yang lain tentang seni ala Jawa. Melalui dirinya juga saya mulai terbiasa dengan aktivitas orang jawa dalam hal seni dan pandangan hidup. Saya, Panggih, dan Fikri di sela-sela waktu membersihkan kantor, terkadang beristirahat sambil mendengar tembang jawa, atau dengan antusias mendengar Panggih bercerita soal Cak Nun. Di Paris, pegiat RBK berhadapan dengan berbagai macam hal. Dan itu juga yang mendorong pegiat RBK untuk memahami perbedaan setiap orang. Pegiat RBK semacam dilatih untuk berpikir menggunakan berbagai macam landasan sembari mengingat bahwa setiap orang akan berproses dengan cara yang berbeda-beda.

 

 

 

Tahun 2014: Kelahiran Perpustakaan Jalanan

 

Setelah mengontrak rumah di jalan Paris, Yogyakarta, RBK pindah ke Dusun Sidorejo. Jaraknya dekat dengan tempat kontrakan RBK yang pertama yakni Onggobayan. Sidorejo dan Onggobayan di pisahkan oleh jalan Wates. Onggobayan terletak di sebelah utara, sedangkan Sidorejo di sebelah selatan. Sewaktu berniat mencari lokasi rumah kontrakan, Bang Alfian menawarkan pegiat RBK untuk mencari informasi di sekitar Sidorejo, sebab rumah Bang Alfian juga berada di daerah sekitar itu yakni Brenggosan. Kira-kira pukul 4 sore saya dan Zulfikar mampir di rumah Bang Alfian. Kami bertiga duduk di teras depan rumahnya dan bercerita soal rumah kontrakan baru untuk RBK. Singkat cerita, melalui informasi dari seorang Dukuh Sidorejo kami memperoleh informasi sebuah rumah di RT 08. Rumah itu terletak di dekat Sungai Kalibedog. Rumah itu peninggalan Almarhum Pak Junedi, seorang Pelawak Ketoprak, sekaligus Mubaligh yang cukup terkenal tahun 90-an di Yogyakarta. Melalui proses satu minggu akhirnya pegiat RBK sepakat untuk mengontrak rumah tersebut. Cerita baru RBK dimulai lagi disini.

 

RBK mengontrak rumah tersebut dengan nominal Rp. 4.500.000. Menurut pemilik rumah, RBK merupakan pihak pertama yang mengontrak rumah tersebut. Uang yang diperoleh RBK terkumpul menjelang hari H pembayaran panjar atau tanda jadi. RBK berusaha memperoleh uang minimal Rp 2.000.000 sebagai tanda sepakat. Sisanya dilunasi RBK kira-kira dua atau tiga minggu setelah rumah ditempati. Proses mencari uang untuk mengontrak rumah baru tidak mudah. Saat itu saya ingat Cak David berkata “kalau kita berniat baik pasti ada yang membantu”. Saya juga beberapa kali diberitahu oleh Kak Wiek bahwa RBK mendapat donasi dari beragam pihak mulai dari nominal Rp. 50.000, atau Rp.100.000. Saya dan Zulfikar diminta untuk fokus mencari kontrakan, sedangkan uang untuk keperluan sewa akan diusahakan.

 

Image result for rumah baca komunitas

Rumah tersebut merupakan warisan Pak Junaidi (seorang seniman/Pelawak Jogja) kepada anak sulungnya yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Sehingga hak mengurus rumah diserahkan kepada istri anak sulung Pak Junaidi bernama Bu Yuli. Rumah tersebut terdiri atas tiga kamar tidur, dua ruangan besar. Kamar mandi dan dapur terletak di luar rumah. Ruang depan rumah tersebut cukup besar dan luas, begitu juga dengan ruangan tengah. Hal itu cukup menggembirakan pegiat RBK. Apalagi, suasana rumah yang dekat dengan area kampung. Selain itu, jarak rumah yang berada di area perkampungan menjadikannya bebas dari kebisingan kendaraan bermotor.

 

Hari pertama menempati rumah baru pegiat RBK dibantu tiga hingga empat voluntir mahasiswa yang berasal dari UMY. Target pada hari pertama adalah membawa semua barang RBK yang terdiri atas lemari buku, meja, kursi-kursi, dan berbagai perlengkapan lainnya. Setelah itu, rumah dibersihkan dan diberi alas karpet plastik. Hampir dua minggu penataan rumah baru berlangsung karena dilakukan di sela-sela aktivitas pegiat RBK.

 

Agenda awal RBK seperti biasa adalah malam refleksi pegiat RBK. Kami mengundang pegiat RBK, dan beberapa voluntir untuk ikut berdiskusi di kantor baru RBK. Agenda refleksi itu dilakukan beberapa kali. Voluntir RBK yang baru maupun yang lama kami undang meskipun tidak semua dapat hadir. Pembahasan refleksi RBK pada umumnya berbicara mengenai evaluasi gerakan literasi RBK, mimpi-mimpi pegiat RBK soal gerakan literasi, dan berbagi peran. Pembagian peran dan pengurus harian RBK masih sama dengan di Paris. Hanya saja kami semakin banyak. Hingga pertengahan tahun, Sakir, Andan, Abdullah, Indra, Agam, Vitho, Unggul, Lisa, Uswah, Tyas, Chaca serta teman-teman voluntir yang berasal dari berbagai latar belakang menjadi bagian penting RBK Kalibedog.

 

Satu hal positif yang perlu didorong kembali di Kalibedog adalah spirit berbagi. Sejak dari Onggobayan hingga Paris, RBK selalu identik dengan slogan Sharing is Power. Dalam hal apapun slogan ini tampak begitu penting. Hampir semua pegiat dan voluntir selalu kami ceritakan soal pentingnya perspektif “berbagi”. Misalnya berkaitan dengan diskusi, RBK selalu menekankan konsep “berbagi” sebagai landasan awal dalam memulai diskusi. Dengan kata “berbagi” setiap orang yang terlibat diajak untuk sadar bahwa posisi mereka setara, sehingga masing-masing dapat mengambil peran dan tanggungjawab. Perspektif ini sangat berguna dalam membangun aktivitas atau program organisasi. Dengan bersandar pada konsep “berbagi”, kekuatan setiap orang dapat berkembang. Saat inilah kemudian RBK membawa buku ke jalanan yaitu dengan membuka perpustakaan jalanan atau RBK on the street tepatnya di bulan Juni 2014.

 

Image result for rumah baca komunitas

 

Konsep berbagi tampaknya telah mendekonstruksi banyak hal dalam cara-cara RBK membangun gerakan jika dibandingkan dengan gerakan lainnya. Konsep “berbagi” memberi semangat kepada para pegiat untuk memahami bahwa di dalam setiap aktivitas, proses merupakan hal yang penting. Misalnya aktivitas diskusi RBK pada umumnya diisi oleh pegiat atau voluntir RBK sendiri. Tentu saja dengan kemampuannya masing-masing. RBK selalu membuka ruang bagi siapa saja untuk menawarkan diri menjadi pemantik diskusi. Maka tidak mengherankan jika diskusi Dejure atau Reboan, yakni forum diskusi yang dilakukan setiap hari rabu selalu rutin diadakan.

 

Konsep berbagi merupakan hal yang layak untuk diketahui. Konsep berbagi tersusun atas berbagai pandangan, misalnya; (1) setiap orang setara, (2) setiap orang memiliki kekuatan, (3) setiap orang memiliki kesempatan yang sama, (4) berbagi akan melipatgandakan kekuatan, (5) berbagi merupakan manifestasi kemanusiaan setiap manusia, (6) berbagi akan mengurangi kekerasan terselubung di balik bahasa, budaya, dan perilaku sehari-hari, (7) berbagi adalah bentuk relasi antara manusia dengan alam. Tentu saja ada banyak pandangan yang menyusun konsep berbagi. Sedemikian elementernya konsep berbagi, sehingga konsep ini seakan merangkum apa yang menjadi substansi dari aktivitas RBK sejak Onggobayan hingga Kalibedog.

 

Konsep berbagi telah mengantarkan pegiat RBK kepada kesadaran, atau biasa disebut sebagai kewarasan. Aksi-aksi yang dilakukan pegiat RBK pada umumnya dilakukan sebagai bentuk kewarasaan kemanusiaannya. Di Kalibedog sensitifitas terhadap kekerasan dan diskriminasi, menghasilkan urgensitas untuk selalu berlaku apresiatif. Konsep berbagi tampaknya juga berhubungan erat dengan perlakuan apresiatif RBK. Tidak jarang ada testimoni yang sangat positif disampaikan oleh beberapa orang. Mereka pada umumnya merasa diterima di RBK. Seorang penulis novel muda pernah mengucapkan terima kasih karena sudah diundang untuk berbagi cerita seputar novel yang baru saja ditulisnya. Novelis muda itu menuturkan terima kasih karena direspon dengan sangat baik dan apresiatif. Begitupun seorang mahasiswa merasa tidak terbebani saat menjadi pemantik diskusi di RBK, meskipun dia mengakui bahwa dirinya sebenarnya menyadari tidak cukup banyak tahu. Tetapi respon yang diberikan oleh audiens justru turut membantunya dalam memahami topiknya sendiri. Hal itu dimungkinkan sebab audiens di RBK tidak pernah mempersoalkan seberapa dalam pengetahuan seseorang, sebab hal itu bukan persoalan besar. Keinginan belajar setiap orang untuk berbagi adalah hal penting yang harus diapresiasi.

 

 

Tahun 2014 merupakan babak baru RBK dalam aksi-aksi sosial. Pentas seni yang disebut Apsas singkatan dari Apresiasi Seni merupakan salah-satu contoh penting. Apsas merupakan konsep pentas seni yang berbeda, terkadang spontan, tak direncanakan, dan hampir selalu berangkat dari kegelisahan mendadak. Tidak jarang ketika Kak Wiek, Indra, Mascu, sedang duduk diskusi tiba-tiba bergerak untuk mendisain “panggung”. Kain-kain tipis berwarna hitam atau merah mereka ambil. Proses dekorasi “panggung” terlalu antusias. Masing-masing orang tergerak untuk menambah bagian-bagian yang diperlukan tanpa diperintah. Indra mengatur lampu. Mascu mengatur tampilan panggung. Sedangkan Kak Wiek berjalan ke sana ke mari secara cepat untuk memperoleh tambahan-tambahan baru bagi panggung. Maka, Apsas terkadang tidak pernah direncanakan sebelumnya.

 

Apsas tampaknya telah menjadi cara hidup pegiat RBK. Melewati diskusi yang panjang terkadang membuat mereka tergelitik untuk membuat manifestasinya lewat seni, sastra, atau tampilan budaya. Apa yang disebut sebagai “panggung” dalam Apsas pun sebenarnya terdiri atas satu kursi, beberapa kain yang disulap menjadi latar, dan lampu dengan cahaya kuning. Kadang-kadang juga meja disulap menjadi tempat duduk. Hal itu menjadikan panggung seperti “milik bersama”, itu yang memunculkan istilah “berkreasi suka-suka”. Setelah panggung selesai biasanya Mas Sakir akan membeli jajanan dan buah. Cak David juga mempersiapkan puisi untuk pentas, dan kamera sebagai salah-satu alat penting untuk mengabadikan proses unik tersebut.

 

Melalui Apsas, RBK menuju jembatan perjuangan yang lain. Kesadaran bahwa manusia membutuhkan seni, menjadi jalan pegiat RBK untuk mengapresiasi alam semesta. “Kita tidak bisa mencintai manusia jika tidak mencintai alam”. Melalui seni pegiat RBK diajak untuk sensitif terhadap rasa kemanusiaan mereka. Saat membaca puisi Wiji Thukul, WS Rendra, Taufik Ismail. Atau saat menikmati novel Pramoedya Ananta Toer, Hamka, Luis Sepulveda. Belantara kehidupan manusia dan alam seperti terhampar serta menggugah kesadaran. Kesadaran terhadap perbaikan relasi antara manusia dan alam seperti terbuka dengan sendirinya. Perlahan tapi pasti seperti melibatkan alam semesta dalam setiap horison pemikiran. Muncullah istilah Ekoliterasi.

 

Image result for rumah baca komunitas

Istilah Ekoliterasi pertama kali muncul dari Fritjof Chapra tentang kesadaran tinggi ekologi yakni ecoliteracy. Menurutnya, karena kebiasaan membaca, menulis dan berdiskusi pegiat RBK telah terhubung dengan kesadaran peduli terhadap lingkungan maka istilah itu muncul. Pegiat RBK memang semakin merambat ke novel-novel, puisi, film, buku, yang bercerita tentang lingkungan. Indra dan Dollah biasanya mencari film-film tentang lingkungan. Kak Wiek membedah novel tentang lingkungan. Keterlibatan RBK terhadap isu lingkungan misalnya berkaitan dengan kasus Rembang. Selain itu kami juga diajari oleh Mas Adim untuk mengelola sampah. Mas Adim adalah salah-seorang yang sangat mendukung misi literasi pegiat RBK. Beliau adalah seorang penulis, editor buku, disainer, dan beragam hal dapat dilakukannya. Tanpa lelah juga dia mengingatkan kami untuk menyimpan sampah plastik mulai dari tas plastik, kemasan minuman, hingga karet gelang. Menurutnya hal itu tidak bisa disepelekan. Jika tidak sedang sibuk menyusun buku, Mas Adim tidak segan-segan mampir di RBK untuk memisahkan antara sampah plastik dan sampah organik. Mas Adim sengaja melakukan itu supaya pegiat RBK mudah untuk membuangnya. Meskipun tujuan utamanya agar sampah tertentu dapat diolah kembali menjadi barang kreasi, misalnya untuk kebutuhan Apsas. Meskipun tidak mudah, pegiat RBK belajar banyak hal dari proses tersebut.

 

 

Tahun 2015 dan Refleksi Panjang Ikhtiar

 

Salah-satu hal yang menjadi penting dilakukan oleh setiap gerakan sosial saat ini adalah dengan melipatgandakan kekuatan. Pentingnya hal ini menunjukkan bahwa pegiat gerakan sosial mulai dari gerakan literasi, gerakan lingkungan, gerakan mahasiswa, dan gerakan lainnya harus menyadari kebutuhan untuk memperkuat jaringan. “Dengan berjejaring kemampuan setiap gerakan sosial akan berlipat”. Hal itu disampaikan oleh Kak Wiek berulang kali. Jika setiap pegiat gerakan saling menegasikan perjuangan-perjuangan sosialnya maka tidak ada hal lain yang mereka perolah selain narsisme saja. Saya ingat bagaimana antara sesama aktivis hanya bertukar sarkasme untuk tujuan narsistik sedangkan musuh mereka semakin elegan dan efektif. Mereka tampak tidak memiliki selera humor yang pantas. Beberapa kali misalnya mereka mengomentari “dengan gerakan literasi kalian mau apa?”. Pertanyaan itu pernah saya jawab dalam salah-satu tulisan. Ada juga seseorang yang pernah berkomentar “gerakan literasi itu hanya gerakan untuk anak-anak”, untuk komentar terakhir ini tampak sekali bahwa asumsi-asumsi dasar mereka terlalu keliru. Komentar itu sepenuhnya tidak dapat diragukan lagi berangkat dari pembacaan realitas yang ahistoris. Tidak perlu saya singgung terlalu banyak.

 

Tahun 2015 adalah tahun penting bagi RBK karena membuktikan beberapa hal. Pertama, perasaan senang-hati akan menjadi landasan kuat dalam membangun gerakan sosial. Perasaan senang-hati berasal dari kesadaran bahwa banyak orang yang sebenarnya menjadi teman kita bersama dalam membangun gerakan sosial. Kita mungkin belum pernah bertemu dengan mereka, tetapi melalui tulisan, kita semua terhubung. Gagasan kita atau mereka saling mendorong bagi terciptannya entitas-entitas baru. Mulai dari pertengahan tahun 2014 hingga tahun 2015 RBK membuka lapak perpustakaan jalanan di Alun-alun Kidul (Alkid). Perpustakaan jalanan itu kami sebut RBK On the Street (RotS). Banyak orang bertanya bagaimana caranya mempertahankan RotS, jawabannya adalah kebahagiaan melihat orang lain membaca. Tanpa perasaan itu tampaknya dibayar berapapun tidak akan bertahan lama. Seorang mahasiswa pernah berkata “senang aja lihat orang lain senang baca buku”.

 

Kedua, gerakan sosial dengan jenis perjuangan apapun mulai dari sekarang harus menentukan secara mandiri gerakannya. Sesama pegiat harus meninggalkan sisa-sisa sarkasme historis. “Sudah saatnya manusia Indonesia membangun narasi yang lebih manusiawi di Bumi Manusia” kata Cak David. Atau, Kak Wiek yang juga tanpa lelah mengingatkan kita soal refleksi anti-kekerasan yang harus dijalani penuh komitmen. Berjuang penuh kegembiraan dan berkomitmen penuh terhadap kemanusiaan serta alam semesta adalah jalan pegiat literasi. Dengan demikian, “siapa saja dapat menjadi penggerak literasi” kata Dauzan Farook yang ingin saya haturkan penuh keharuan.

 

Madzab baru ekoliterasi inilah yang kemudian menandai komunitas ini sebagai madzab kalibedog yang merupakan nama sungai di mana kita berkegiatan dan berproses mendemokratisasikan bacaan dan mengupayakan pembelaaan ekologi.

 

Rumah Baca Komunitas: Apa yang Menggerakkan Kami?

 

 

Fauzan A Sandiah (Pegiat dan Kurator RumahBacaKomunitas.Org)

 

Tags: PerjalananRumahBacaKomunitas , KopdarnasPenggiatLiterasi , FauzanA.Sandiah

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website