Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Artikel

Homepage

Menyongsong Kopdarnas Penggiat Literasi: BISAKAH LITERASI KRITIS SEBAGAI GAYA HIDUP?

.: Home > Artikel > Majelis
07 Desember 2017 02:53 WIB
Dibaca: 1460
Penulis : Nu’man Suhadi

Image result for gerakan literasi kritis

 

 

 

Muhammadiyah telah lahir sebagai sebuah tradisi besar dengan sejumlah kisah sukses. Muhammadiyah memiliki modal sosial yang cukup besar sebagai gerakan Islam yang besar di negeri ini, bukan hanya lahir dan besar di Indonesia tetapi juga memiliki stigma postif yang membedakan dengan organisasi Islam lainya dengan mengusung semangat Islam berkemajuan, Organisasi lain boleh merasa lebih besar dari segi kuantitas anggotanya, namun dari segi kualitas dalam amal usaha, gagasan-gagasan pemikiran, infrastruktur dan sistem organisasi, serta kepercayaan publik sesungguhnya Muhammadiyah terbilang unggul atau lebih besar. Sebagai organisasi Islam modern bahkan Muhammadiyah termasuk terbesar di dunia Islam. Kondisi ini harus disyukuri sebagai nikmat dan karunia Allah yang sangat berharga, karena itu tidak boleh potensi yang besar tersebut dibiarkan laksana genangan danau yang diam, apalagi seperti ”gajah bengkak” yang sulit bergerak.

 

Organisasi besar seperti Muhammadiyah bisa jadi memiliki kelemahan karena kebesarannya, terlena karena kemapanannya, kehilangan jejak karena tak mampu merawat sejarahnya dan mungkin latah karena kehilangan orisinilatas dalam pemikiran, tak jarang beberapa kader muda Muhammadiyah yang mengkritik bahwa Muhammadiyah mengalami stagnasi dalam konteks pembaharuannya sebagai agenda utamanya sebagai akibat tarikan-tarikan hal yang bersifat praktis dan administratif seperti pengelolaan Amal Usaha, belum lagi keterjebakan pada politik kekuasaan yang cenderung transaksional sehingga aspek pembaharuan pemikiran yang dahulu menjadi kunci pembuka proses perubahan sosial yang menjadi identitas pergerakan Muhammadiyah rasanya seperti menjadi romantisme sejarah, diawetkan dengan memelihara rutinitas organisasi, maka membaca ulang ide pemikiran dan gerakan di dalam Muhammadiyah menjadi kebutuhan agar dinamisasi pergerakan menjadi bermakna dan dan dapat memberikan berkontribusi dalam usia muhammadiyah yang telah melampaui se-Abad.

 

Bagaimana gerakan dan pemikiran Muhammadiyah yang besar itu di baca kembali sekaligus dikontekstualkan dengan kondisi saat ini khususnya di era yang serba digital ini, untuk menjadi kekuatan aktual yang lebih besar? Dalam sebuah aktivisme sosial memerlukan juga kerangka teoritik yang harus senantiasa diperbaharui mengikuti zamannya, tujuannya tentu saja agar praktek sosial itu tidak berhenti ditengah jalan, tidak tepat sasaran dan hanya menjadi rutinitas yang tanpa makna, maka dalam konteks inilah kegiatan mempertemukan simpul-simpul pegiat literasi yang dimiliki Muhammadiyah punya makna strategis mengingat gerakan literasi yang tengah marak disemak belukar jarang mendapat apresiasi secara struktural ini dapat menjadi poros kebaharuan dari pergerakan Muhammadiyah dalam menjawab tantangan zamannya, pada saat yang sama belum ada mekanisme yang tepat dalam merawat gerakan literasi yang semakin bergerak sebagai cara alternatif dalam proses menguatkan sekaligus menjadikan gerakan literasi ini sebagai gaya hidup di dalam Muhammadiyah.

 

Dalam kamus online Merriam-Webster, Literasi berasal dari istilah latin ‘literature‘ dan bahasa inggris ‘letter‘. Literasi merupakan kualitas atau kemampuan melek huruf/aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis. Namun lebih dari itu, makna literasi juga mencakup melek visual yang artinya “kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual (adegan, video, gambar), di zaman yang seakan bergerak cepat,  gerakan literasi sebagai gaya hidup menjadi punya nilai kebaharuan, di negara negara maju seperti Finlandia, denmark, Amerika Serikat, literasi telah menjaddi habitus gaya hidup tentu juga karena keperpihakan pemerintahnya, semisal di finlandi ada perhatian sejak dini soal literasi dengan pemberian paket perkembangan anak yang didalamnya tidak sekedar berisi keperluan bayi tetapi juga buku bacaan baik untuk orang tua atapun anak, akses mendapatkan buku bacaan juga hadir disetiap tempat, semarak dunia penerbitan khusunya bacaan anak-anak lebih massif dibanding buku lainnya dengan harga yang terjangkau, mendongeng dan bercerita menjadi cara keluarga mendekatkan emosi, bahkan dibuat regulasi agar acara/film asing tidak lagi dialihbahasakan agar anak rajin membaca. Bagaimana dengan di Indonesia wabil khusus Muhammadiyah ?

 

Membangung gerakan literasi sebagai gaya hidup tidak lah semudah membalik telapak tangan, mengingat kemampuan literasi bukanlah seperti keajaiban yang bisa terjadi hanya dalam semalam, ia adalah kemampuan yang mendaku kepada proses dan segala nilai yang terkandung di dalamnya. Kemampuan literasi adalah kemampuan yang berjalan saling beriringan yang artinya minat baca yang sudah tumbuh otomatis akan merangsang minat menulis secara simultan. Budaya membaca dan menulis adalah suatu paket komplit yang tak mungkin dipisahkan, apabila minat membaca sudah menjadi satu kebiasaan maka budaya menulispun akan terbangun, kehadiran taman bacaan, pojok baca, kedai baca dan apapun namanya dimanapun tempatnya diharapkan selalu sajabisa memberikan dampak bagi sekitarnya paling tidak kehadirannya adalah sebuah simbol yang menawarkan perlawanan kebodohan. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia bisa jadi karena daya baca masyarakat yang rendah pula, membaca merupakan kunci keberhasilan masyarakat dalam menguasai ilmu pengetahuan  dan teknologi. Minat baca akan tumbuh dan berkembang melalui kebiasaan membaca baik dilingkungan formal (dunia pendidikan) maupun dalam lingkungan masyarakat dan keluarga.

 

Memupuk minat baca merupakan proses pelatihan yang dilakukan secara terus menerus. minat baca masyarakat yang rendah mempengaruhi kualitas masyarakatnya. Sejarah belum pernah mencatat ada orang pintar dan hebat yang tak banyak membaca. Sayang hal ini belum menjadi kesadaran serius bagi sebagian orang tua, masyarakat dan warga muhammadiyah, disinilah betapa pentingnya mempertegas gerakan literasi disaat muhammadiyah tengah menjadi mualaf dalam kebudayaan,di zaman yang sedang berlari cepat sebagai akibat perkembangan teknologi informasi yang semakin masif, tidak cukup literasi sebagai gaya hidup mengingat literasi sendiri telah merubah wujud dalam dimensi digital dengan beragam variasi, sehingga dibutuhkan juga gerakan literasi kritis ditengah perkembangan media yang semakin liar, pertanyaannya sederhana, bisakah menjadikan gerakan litersi kritis ini sebagai gaya hidup tradisi muhammadiyah yang mampu diwariskan di abad selanjutnya ?

 

 

Nu’man Suhadi

Direktur Lembaga Pengkajian, Pemberdayaan dan Pengaduan Masyarakat (LP3M) Kabupaten Lamongan dan juga Koordinator JIMM Kab. Lamongan

Tags: GerakanLiterasiKritis , KopdarnasPenggiatLiterasi , Nu'manSuhadi

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website