Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Artikel

Homepage

Menyongsong Kopdarnas Literasi: KBM DAN MOTIVASI UNTUK MAJU

.: Home > Artikel > Majelis
04 Desember 2017 14:39 WIB
Dibaca: 1267
Penulis : Wira Prakasa Nurdia (KBM)

 


 

“Bagi saya menulis itu bukan ihwal teoritis tetapi praksis, proses menulis itu menyangkut dedikasi dan konsistensi,” ujar Ahmad Sahide, lirih. Ahmad Sahide, saya mengetahui dirinya sekitar tiga setengah tahun yang lalu di sebuah percakapan antar-dinding pada platform media sosial sejuta umat, Facebook. Saya kurang begitu mengingat mengapa saya bisa dengan mudahnya menemukan akun profilnya di antara ribuan akun lainnya. Namun yang jelas, satu hal yang menggugah saya untuk tidak ragu meminta hubungan pertemanan dengannya adalah karena pada bilah profilnya disebutkan bahwa ia merupakan penggerak pada sebuah komunitas literasi: Komunitas Belajar Menulis.

 

Di Yogyakarta banyak komunitas sejenis yang mengusung literasi sebagai simpul pergerakan. Aktivitasnya begitu rupa: membagikan buku secara gratis, perpustakaan keliling, lapak taman baca di akhir pekan, bahkan sampai mengedukasi anak-anak di kawasan pinggiran. Semua usaha tersebut umumnya dilandasi oleh kesukarelaan serta tanpa pamrih demi sebuah tujuan mulia, yaitu memberdayakan. Akumulasi kerja-kerja literer di atas merupakan sebuah kabar yang menggembirakan di tengah pesimisme kita terhadap temuan studi Most Littered Nation in The World oleh Central Connecticut State pada 2016 silam, di mana minat baca masyarakat Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara.

 

Begitu pula dengan Komunitas Belajar Menulis atau jamak disingkat KBM. KBM dibentuk salah satunya sebagai respons ketiadaan medium di lingkungan kampus untuk menyalurkan potensi literer, terutama menulis. Kegelisahan tersebutlah yang mendorong ketiga mahasiswa kritis seperti Ahmad Sahide, Rezky Satris, dan Arkie Aninditya membentuk suatu komunitas yang titik pijaknya dimulai dari hobi yang sama, yakni menulis. Mengapa harus komunitas? Pertanyaan ini gampang-gampang susah, namun jika harus ditarik ke belakang jawabannya terletak pada pembredelan tulisan-tulisan mereka di mading kampus.

 

Tahun 2010 berbeda dengan era sekarang di mana setiap individu mampu mengakses secara luas informasi berbasis internet. Dulu, sebagaimana cerita Ahmad, salah satu cara untuk mengkritik fenomena mahasiswa adalah melalui sebuah tulisan yang ditempelkan pada dinding mading. Mading disediakan oleh pihak kampus sebagai salah satu media alternatif mahasiswa, pun juga dikelola mahasiswa sendiri. Ahmad dan kedua temannya menyadari dan memahami hak itu, mereka memenuhi dinding mading dengan kegelisahan mereka terhadap kebijakan kampus dan kabinet mahasiswa saat itu. Namun dasar mahasiswa, tulisan mereka tak sampai sehari “nangkring”, langsung hilang berganti dengan informasi lain. Rangkaian awal mula perjalanan KBM di atas mengingatkan saya pada sebuah film biografi populer yang digarap apik oleh sutradara gaek, Riri Riza, didasarkan pada sebuah catatan buku seorang aktivis mahasiswa Universitas Indonesia, Soe Hok Gie pada dasawarsa tahun 60-an. Di mana buku dan tulisan merupakan dua instrumen paling fundamental dalam sebuah pergerakan revolusioner.

 

Namun saat ini, KBM sudah bukan lagi komunitas yang hanya merespons isu lokal –egosentrisme mahasiswa-. Ia masuk lebih dalam lagi, mengepakkan sayapnya menjadi komunitas yang membuka diri terhadap siapapun yang ingin bergabung dan bersama-sama belajar menulis, termasuk di antaranya saya yang notabene berbeda universitas. Pasca-ditinggal dua sahabatnya (Arkie meninggal dunia, Rezky pulang ke daerah), Ahmad Sahide praktis sendiri menggawangi komunitas yang sudah berjalan selama tujuh tahun ini.

 

 

Pola dan Berbagai Kegiatan KBM

 

Ahmad Sahide berkali-kali mengingatkan kepada peserta yang hadir dalam lingkar KBM setiap Minggu malam, bahwa karakteristik dasar sebuah komunitas tidak ada unsur paksaan. Selebihnya ia merupakan kesadaran pribadi, penghargaan terhadap suatu proses dan kemauan untuk maju terutama dalam bidang menulis. Memang untuk yang terakhir ini bukan merupakan suatu garansi, tergantung si empunya asalkan ia konsisten, tekun, dan tekad yang kuat.

 

Untuk pola, Ahmad Sahide mewajibkan peserta datang membawa karya tulis, baik itu berupa essay, puisi, cerita pendek (cerpen), dan karya ilmiah. Setiap karya harus dibagikan masing-masing kepada seluruh peserta, dan diklinik satu sama lain. Hampir seluruh anggota yang baru pertama kali bertandang ke sekretariat KBM selalu merasakan kegetiran ketika tulisannya harus dibaca dan dikritik. Namun kritik merupakan sebuah keniscayaan, dan ini berlaku kepada siapapun termasuk Ahmad Sahide meskipun ia sudah bergelar Doktor sekalipun. Selain kritik sebagai evaluasi tulisan, pola formasi tersebut juga menunjukkan kesetaraan satu dengan yang lainnya yang bersimpul pada sebuah karya. Bukan gelar, status dan lain-lain. Jika Anda membawa sebuah karya berkualitas teman-teman lain tak akan sungkan untuk mengapresiasi, tetapi jika sebaliknya, konsekuensinya Anda bisa saja mendapat kritik yang pedas.

 

Tentu dalam perjalanan panjang selama tujuh tahun, KBM tidak saja berkutat pada kegiatan klinik menulis. Beberapa kali kami mengadakan workshop dengan mengundang tokoh-tokoh kompeten, terutama yang berkaitan dengan bidang literasi. Terakhir, kami mengundang seorang aktivis pergerakan literasi dari Sulawesi Tenggara, Ridwan Mandar yang mendedikasikan dirinya mengarungi lautan lepas untuk mendistribusikan buku-buku secara gratis ke daerah pelosok di pulau Sulawesi. Kegiatan tersebut mendapat respons yang cukup positif. Banyak peserta yang hadir dari berbagai kalangan, seperti mahasiswa, tokoh literasi, tokoh masyarakat, bahkan dosen dari berbagai universitas.

 

Di samping berkegiatan, tiap tahunnya kami juga menerbitkan karya anggota KBM dalam sehimpun antologi buku. Buku tersebut merupakan fragmentasi dari karya masing-masing anggota, sekaligus apresiasi bagi mereka yang konsisten untuk berproses. Beberapa karya tersebut di antaranya adalah; Pesan Mama Tentang Kematian yang Indah, Filsafat dan Cinta yang Menggebu, KBM dan Insomnia Kota Jogja. Ahmad Sahide pun tak lelah mendorong serta mengingatkan anggotanya mengenai pentingnya publikasi karya, terutama media cetak nasional. Beberapa di antaranya sudah dimuat di media cetak arus utama seperti Kompas, Tribun Jogja, Republika, Seputar Indonesia dan media daring. Meskipun berbentuk komunitas yang serba terbatas, namun KBM mempunyai arti penting bagi anggotanya. Minimal ini semacam suplemen yang memompa dan mendorong kami untuk lebih giat lagi.

 


Tags: KBMdanMotivasiuntukMaju , KomunitasBelajarMenulis , KopdarnasPenggiatLiterasi , WiraPrakasaNurdia

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website