Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Artikel

Homepage

Menyambut Kopdarnas Penggiat Literasi: Yang Muda Yang Membaca: Zaman Baru Pergerakan Buku-buku

.: Home > Artikel > Majelis
20 November 2017 22:19 WIB
Dibaca: 1821
Penulis : David Efendi

 

 

“buku rupanya mengubah takdir orang, orang mengubah takdir buku-buku.”

—Carlos Maria Dominguez dalam kisahnya di Rumah Kertas, Sastrawan Amerika Latin

 

“…siapa saja dapat menjadi penggerak literasi”

—Dauzan Farook, Mabulir

 

 

Pendahuluan

 

Sejarah telah memberikan rasa percaya diri teramat besar akan peran-peran kunci dan kiprah revolutif golongan anak-anak muda. Bukan hanya dalam konteks semangat anti kolonialisme dan imperealisme tetapi juga dalam konteks pasca penjajahan— dibuktikan dengan beragam terobosan penting untuk mengelola kehidupan bersama: bidang tekhnologi, sosial, politik, dan kebudayaan. Tentu saja, dengans segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian, kaum muda yang umurnya antara 14-25 tahun dan atau antara 26-35 tahun1sedang menentukan takdir-takdir dunia pengetahuan, takdir buku-buku, dan takdir masa depan bangsanya. Sampai pada tingkat kepercayaan diri ini, kita akan melangkah menjawab pertanyaan bagaimana itu terjadi?

 

Bagaimana keterlibatan anak muda dalam mengizi zaman baru gerakan literasi satu dekade terakhir ini adalah dapat dimulai dari serangkaian pertanyaan-pertanyaan bagaimana nasib gerakan literasi di tangan generasi millennial ?; Bagaimana prosesnya estafet pelaku gerakan literasi pra-millennial ke tangan kelompok millennial?; Bagaimana keasyikan kaum millennial harapan bangsa ini mengelola hidup, ambisinya, karirnya, hobinya, dan menyelenggarakan urusan literasi?; Seberapa banyak gen milineal jatuh hati pada urusan literasi tanpa kehilangan identitasnya sebagai generasi Z?; Bagaimana intensitas kaum milennial berjibaku urusan literasi di tengah bursa karier dan mimpi hidup yang lebih bahagia?;

 

Benarkah generasi milennial akan setia pada perjuangan gerakan literasi?; Kepercayaan macam apa yang mereka miliki terhadap buku, kehidupan, dan gerakan literasi ?; Hal apa yang membuat mereka tertarik, berkembang, bertahan dalam nadi gerakan perbukuan, gerakan semesta literasi kontemporer?; dan  Kolaborasi macam apa dalam gerakan literasi yang membuat  millenialers kesengsem dengan gerakan ini? Tentu, tidak semua pertanyaan penting ini mendapatkan jawaban di coretan lepas ini.

 

Karena buku-buku yang telah dan akan mengubah takdir sebuah bangsa maka sejatinya tadarus gerakan literasi atau tadarus gerakan Iqro’ sejatinya adalah proses memahami dan mengetahui secara komprehensif kemana arah perjalanan bangasa dan bagaimana nasib bangsa itu sendiri. Kemampuan literasi yang baik suatu bangsa memiliki keunggulan dapat mengetahui lebih cepat bagaimana formulasi untuk mencegah bangsa-bangsa bunuh diri.

 

Tentu saja golongan muda akan menolak keadaan buruk yang akan menimpah generasinya. Mereka juga akan berusaha keras menolak manifesnya tesis bahwa rendahnya literasi merupakan masalah mendasar yang memiliki dampak sangat luas bagi kemajuan bangsa. Literasi rendah berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas bangsa. Ini berujung pada rendahnya pertumbuhan dan akhirnya berdampak terhadap rendahnya tingkat kesejahteraan yang ditandai oleh rendahnya pendapatan per kapita.

 

Daya literasi rendah juga berkontribusi secara signifikan terhadap kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan sosial ekonomi. Golongan muda ini juga memiliki militansi yang baik mengenai keterlibatan diriinya di dalam mempromosikan pengetahuan di berbagai tempat di belahan bumi. Kelompok kaum muda juga memproteksi kebaradaan perpustakaan Nasional Sarajevo, Bosnia saat dibombardir tentara Serbia pada tahun 1992. Ketika ditanya wartawan mengapa mereka mempertaruhkan nyawanya menyelamatkan buku-buku dengan membuat deretan panjang mengoper buku-buku ke luar bangunan yang sekarat? “karena apa yang terbakar itu adalah bagian diri saya,” jawab salah satu pemuda.2

 

 

Literasi dan Keadaan Indonesia

 

Dalam sebuah laporan UNESCO, Bulgaria, Kolombia, dan Meksiko misalnya, mendefinisikan literasi sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis teks kalimat sederhana. Sementara Ukraina, Malaysia, dan Hungaria mengaitkan literasi dengan tingkat pendidikan. Ada juga negara-negara yang membangun pengertian literasi secara lebih spesifik. Cina misalnya, mendefinisikan literasi sebagai kemampuan seseorang untuk mengerti minimum 2.000 aksara Cina di wilayah perkotaan dan 1.500 karakter di wilayah perdesaan. Singapura mendefinisikan literasi sebagai kemampuan untuk membaca dan memahami bacaan dalam bahasa yang spesifik.

 

Bagaimana dengan Indonesia? Pengertian konvensional yang sering dikaitkan dengan literasi di Indonesia adalah “melek huruf” dan “buta huruf” yang mengacu pada konsep yang dirumuskan Biro Pusat Statistik (BPS) sebagai “Angka Melek Huruf” (AMH) dan “Angka Buta Huruf” (ABH). AMH didefinisikan sebagai proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf Latin dan huruf lainnya, tanpa harus mengerti apa yang dibaca atau ditulisnya. Sementara ABH adalah kebalikan dari AMH. Menurut UNDP, angka melek huruf Indonesia termasuk yang baik bila dibandingkan dengan banyak negara   berkembang lainnya. Sejumlah 93,9% penduduk berusia 15 tahun ke atas dinyatakan dapat membaca dan menulis walau tanpa harus memahami.

 

Tahun 2015, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan masa itu, Anies Baswedan, sempat mencanangkan “Gerakan Literasi Sekolah” (GLS) yang dikembangkan berbasis pada Permendikbud No. 21/2015 tentang Gerakan Pembudayaan Karakter di Sekolah. Dalam buku saku GLS yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan literasi adalah kemampuan dalam mengakses, memahami, dan menggunakan informasi secara cerdas.

 

Bagi saya, selain agar bangsa ini tidak terlalu gampang menjadi korban informasi abal-abal atau hoax, literasi haruslah didorong untuk menumbuhkan daya kreatif, daya tahan, dan daya saing suatu bangsa Indonesia. Inilah makna literasi yang mengarah pada upaya sungguhsungguh untuk menentukan takdir sendiri. Selain GLS ada juga gerakan literasi keluarga dan gerakan literasi masyarakat. Gerakan literasi masyarakat ini juga dapat dikatakan sebagai gerakan literasi berbasis komunitas.

 

Menurut Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) sampai 2015 pembaca surat kabar hanya 13,1%, sementara penonton televisi mencapai 91,5%. Rendahnya minat membaca ini antara lain terjadi sejak kemerdekaan akibat dihapuskannya secara bertahap buku bacaan wajib di sekolah.

 

Dulu di era sebelum kemerdekaan pelajar AMS (sekolah setara SMA untuk pribumi di zaman pendudukan Belanda) diwajibkan membaca 25 judul buku dan pelajar HBS (sekolah setara SMA untuk anak Eropa dan bangsawan pribumi) sebanyak 15 judul buku. Bahkan secara internasional, beberapa potret statistik ini dapat menjadi pemantik untuk bergerak dan semoga tidak malah mengalami involusi pergerakan dunia literasi:

 

Pada 2014-2015, Indonesia mengikuti PIAAC yang dibuat oleh OECD. PIAAC menilai literasi, kemampuan angka dan memecahkan masalah. Hasilnya dipublish dalam “Skills Matter” tahun 2016 bahwa tingkat literasi orang dewasa Indonesia berada pada posisi terendah dari 40 negara. Hanya 1% orang dewasa di Jakarta yang memiliki tingkat literasi yang memadai (Level 4 dan 5). Literasi level 4 dan 5 berarti dapat mengintegrasikan, menafsirkan, dan mensintesis informasi dari teks yang panjang yang mengandung informasi yang bertentangan atau kondisional. Dan hanya 5.4% orang dewasa di Jakarta memiliki tingkat literasi pada level 3, yaitu dapat menemukan informasi dari teks yang panjang. Selain itu, Central Connecticut State University di 2016 juga merilis hasil “The World Most Literate Nation Study” dari olah data penilaian PISA dan ketersediaan dan ukuran perpustakaan serta akses terhadap informasi. Dari 61 negara yang dikaji, Indonesia ada di posisi ke-60 di atas Botswana. Untuk kawasan ASEAN, Indonesia di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.

 

Rasa-rasanya situasi ‘statistik’ ini memiliki korelasi yang sangat kuat dengan rendahnya kualitas hidup ekonomi masyarakat Indonesia bahkan di sektor pendidikan juga mengalami berbagai persoalan. Ditengarai, kualitas pendidikan yang rendah menyebabkan rendahnya kualitas lulusan pada tingkat pendidikan primer, sekunder, maupun pendidikan tinggi. Ini merupakan faktor utama rendahnya tingkat literasi.

 

Harapan harus terus dibangun, bahwa dukungan masyarakat sipil di Indonesia akan memberikan warna tersendiri bagi daya saing literasi bangsa kita di hadapan dunia.

 

Problem mendasar urusan literasi di negeri ini jangan sampai hanya soal statistik. Statistic akan rendahnya minat bacaan dan skor literasi bangsa Indonesia belum tentu akan mendorong bangsa ini mengalami progress dalam bidang literasi. Ada dua jawaban mendasar yang selalu diabaikan adalah soal infrasturktur literasi (perpustakaan umum, peprustakaan komunitas, bacaan di ruang publik, ‘industri’ perbukuan, dan sebagainya) dan akses bacaan (kebijakan perbukuan, dan kemudahan mendapatkannya). Kedua hal ini akan terpinggirkan manakalah negara tetap berada dalam logika proyek meningkatkan minat baca masyarakat atau proyek memberantas buta huruf masyarakat. Kerja literasi haruslah dikerangkai dalam kerja  kebudayaan, bukan kerja semalam ala Bandung Bondowoso, dan juga kerja yang digerakkan golongan muda— akan mendorong akselerasi dan kreatifitas tanpa batas ruang dan waktu (sustainable).

 

Beruntung kini gerakan literasi madzab negara semakin inklusif, terbukti dari definisi yang sering diadop oleh lembaga pemerintahan, bahwa:

“…literasi juga dipahami sebagai proses belajar sepanjang masa (life-long learning) dalam rangka menjadi Subjek, yaitu karakter manusia yang bijak, kritis, kreatif, dan peduli serta dapat bersimpati, berempati, dan berkompati (compathy) pada diri, sesama manusia, serta lingkungan hidupnya. Sebagai contoh gerakan literasi aktual ini adalah model-model ekoliterasi yang dikembangkan oleh beberapa taman baca dan banyak komunitas buku, juga model sekolah rimba dan beragam kelompok yang mamadukan kebudayaan, pengetahuan, keberpihakan terhadap lingkungan dan kearifan lokal.”3

 

Buku merupakan sarana informasi dan pengetahuan yang sangat penting. Perkembangan teknologi terbukti tak mampu menggantikan peran buku cetak sebagai sumber informasi. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, peran buku cetak tidak saja sekedar penting, melainkan menjadi indikator bagaimana sulitnya pemenuhan indeks hak literasi negara terhadap masyarakat. Konstitusi mengamanatkan bahwa literasi merupakan bagian dari hak dasar yang wajib dipenuhi negara sebagai bentuk kebebasaan dan kesejahteraan. Hingga akhir tahun 2016, tantangan buku cetak di Indonesia tak banyak bergeser dengan apa yang dialami sejak tahun 1990an, yakni mahalnya harga buku cetak dan ketatnya kontrol terhadap kebebasan literasi.

 

Buku cetak hingga beberapa puluh tahun berikutnya masih penting sebagai hak dasar yang harus dipenuhi. Prolegnas 2016 memberi sedikit angin segar bagi dunia perbukuan Indonesia dengan RUU Sistem Perbukuan sayang publik tidak antusias karena barangkali UU Sistem Perbukuan tidak akan banyak memberi perubahan bagi literasi Indonesia.

 

Persoalannya terletak pada watak pijakan terhadap konten buku pendidikan. Hal ini sama sekali tak cukup sebagai solusi dunia perbukuan Indonesia. UU ini juga seharusnya mampu menjamin subsidi buku-buku bagus, dan mendorong penerbit-penerbit supaya semakin bergiat meramaikan khazanah perbukuan dengan menerjemahkan berbagai karya yang terbit setiap tahunnya dari berbagai negara.

 

Banyak negara memberi contoh tentang bagaimana subsidi buku dijalankan dengan mekanisme yang mudah, sehingga mampu menjamin harga buku cetak demikian terjangkau bagi masyarakat. Indonesia sebenarnya bisa melakukan hal tersebut apalagi mengingat bahwa negara tak akan repot sendirian mengusung misi mulia ini, karena sejak tahun 2000an di beberapa kota lahir gerakan literasi dan industri penerbitan kecil yang berdaya-tahan. Hanya saja, dibutuhkan satu kebijakan yang mampu menjamin iklim ini menjadi demikian maksimal. Salah-satunya adalah dengan menjamin subsidi buku cetak. Harga buku yang murah akan menjadi faktor penting bagi perayaan hak-hak literasi.

 

 

Gerakan Literasi Zaman Old dan Now

 

Menurut Fauzan A Sandiah (2016)4ada tiga jenis model komunitas literasi. Pertama, komunitas literasi sebagai gerakan kolektif yang dikelola sepenuhnya sebagai komunitas literasi, misalnya Radiobuku (Bantul) yang mengelola pengarsipan, penerbitan, beragam aktifitas kebudayaan, dan juga promosi asik “mendengarkan buku”; kemudian Rumah Baca Komunitas (Bantul) dengan perpustakaan 24 jam, perpustakaan jalanan yang super accessible, ekoliterasi dan kampanye literasi urban; Literasi Jalanan (Ternate) yang membuka perpustakaan dan pendidikan bersama anak-anak jalanan; dan Rumah Dunia (Banten) yang mengelola wahana literasi dan kampanye membaca.

 

Jenis komunitas literasi yang pertama ini biasanya mengembangkan model aktivitas literasi, mulai dari advokasi dunia perbukuan, membuat penerbitan, mengelola media literasi, kegiatan ekoliterasi, sekolah literasi, seni, hibah buku, serta membentuk kegiatan kolaborasi pendirian gerakan literasi lain. Komunitas literasi jenis pertama ini terbentuk oleh praktik baru akvitisme tetapi bersifat non-LSM (lembaga swadaya masyarakat). Komunitas literasi semacam ini aktif memproduksi sendiri isu-isu literasi yang dianggapnya relevan sehingga tidak selalu bergerak berdasarkan isu-isu formal yang dikelola negara atau media massa.5

 

Jenis komunitas literasi kedua terdiri atas lembaga baca masyarakat atau lembaga edukasi masyarakat, seringkali bersifat informal sekaligus non- formal, atau salah satunya. Jenis komunitas literasi kedua ini pada umumnya berbentuk Taman Baca Masyarakat (TBM) atau TBM sekaligus institusi penyelenggara pendidikan anak semacam PAUD atau TK. Jika komunitas literasi itu berbentuk TBM, maka termasuk ke dalam pendidikan informal, sedangkan jika digabung atau dikelola bersama dengan TK atau PAUD termasuk non-formal. Dengan demikian, komunitas literasi jenis kedua ini selain menyelenggarakan perpustakaan masyarakat, juga mengelola aktivitas pendidikan sebagai respon atas tersedianya kesempatan membangun institusi pendidikan non-formal yang terbuka luas, dengan dukungan negara atas biaya penyelenggaraan pendidikan mencapai 20% dari total alokasi anggaran negara (APBN).

 

Namun demikian, banyak sekali TBMyang kreatif dan mandiri dari negara. Semakin kuatnya bentuk-bentuk hibah bahan bacaan dan sarana pendidikan juga turut menjadi faktor utama berkembangnya jenis komunitas literasi kedua ini. TBM yang mengelola perpustakaan masyarakat juga mempermudah mengakses bahan bacaan untuk perpustakaannya melalui program-program kerjasama dengan pihak swasta.

 

Sementara, komunitas literasi ketiga terdiri dari beragam model inisiasi apresiasi literasi, dikelola secara individual, sebagian besar oleh kelompok kaum muda. Komunitas literasi semacam ini disebut sebagai model “apresiasi literasi” karena sangat fleksibel menunjukkan sikap partisipasinya atas urusan literasi. Aktivitas literasi komunitas ketiga ini sangat fleksibel; warung makan yang membuka barter makanan dengan buku, pojok baca di tempat potong rambut, perpustakaan jalanan, apresiasi seni dan sastra, gerakan poster, layanan situs peminjaman buku antar pembaca, kegiatan diskusi di alun-alun, sanggar melukis, dan banyak lainnya. Tidak menutup kemungkinan perpaduan juga terjadi sehingga tipologi ini hanyalah salah satu cara pembacaan yang bisa bermanfaat dan tidak bersifat mutlak. Untuk mendapatkan info detail ini dapat dilihat dari aktifisme forum taman baca masyarakat, pustaka bergerak Indonesia, Rumah Baca Asma Nadia, Masyarakat literasi Bergerak, serikat taman pustaka, dan jaringan-jaringan lainnya.

 

 

Gerakan Literasi Android dan Zaman Baru

 

Saya pernah menuliskan mengenai bagaimana gerakan literasi terus diperbaharui sehingga memunculkan gerakan literasi 4.0 yang diartikan sebagai gerakan literasi yang baru, gerakan literasi yang ditandai dengan pribumisasi pengetahuan, buku-buku yang tidak dimonopoli lagi oleh lembaga-lembaga pengetahuan formal, perpustakaan dan sekolahan/perguruan tinggi/universitas, dan lembaga riset lainnya. Gerakan literasi 4.0 artinya adalah bahwa semua orang dapat menjadi penggerak pengetahuan, memasyarakatkan perbukuan, menerbitkan buku, menggulirkan buku, dan beragam tindakan kretif di dalamnya. Dengan kata lain, gerakan literasi tidak hanya urusan pemerintahan saja. Sebagai bagian dari pegiat literasi yang hidup di zaman now (android) saya juga memanfaatkan media sosial dengan gawai untuk menjalin beragam urusan termasuk penyelenggaraan urusan literasi. Pernah sedikit heroic saya menuliskan status di wall facebook saya:

 

Harus diapresiasi bahwa urusan literasi memang urusan banyak orang, bahkan menjadi tugas dan tanggung jawab nasional. Nawacita negara harus hadir itu salah satu cabangnya adalah hadir dalam kebijakan literasi, kebajikan perbukuan nasional.

Berita mengenai sponsor luar negeri membuat inovasi komputer dalam kegiatan literasi tentu hebat, Saya hanya merasa sedih karena bangsa Indonesia secara berdikari jauh lebih mampu menyelenggarakan urusan literasi dengan kemampuan, daya kreatif, daya tahannya sendiri. Janganlah terjadi, Kita melakukan pekerjaan ini hidup matinya tergantung bantuan luar negeri.

 

Praktik gerakan Literasi aktual juga semakin kompleks bila dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin cepat. Miliaran informasi dari berbagai belahan dunia dapat mudah diakses setiap hari. Padahal tidak semua informasi itu bermanfaat, banyak di antaranya yang tidak konstruktif atau bahkan berbahaya bagi pembangunan keadaban. Dalam konteks itu perlu dikembangkan literasi digital yang mengedepankan keutamaan-keutamaan hidup bersama. Hal ini mendesak semua orang untuk terlibat di dalam gerakan ini sehingga berbagai kreatifitas, taktik, gaya, model, pola di dalam mengembangkan aspek-aspek literasi dalam arti luas dapat bekerja lebih baik.

 

Ada beberapa karakteristik yang secara sporadis dapat disimpulkan disini untuk mengidentifikasi gerakan literasi kekinian (zaman now) yang lahir, dibesarkan, dirawat oleh golongan muda-mudi. Pertama gerakan ini disemai dalam derajat kepercayaan diri terbaik sehingga mereka ada keyakinan bahwa pegiat literasi zaman now yakin: "semua yang mau kamu ubah itu tidak susah." Mereka juga percaya, bahwa semua pegiat literasi zaman now, bersaudara. Bisa dicheck di pertemanan FB, IG, twitter, dan WAG dan sebagainya. Di sana pula ada jutaan gambar dan video kegiatan literasi dibagi (shared) dan juga menjadi ruang interaksi yang sangat produktif. Pelan-pelan mereka membangun imajinasi diri, imajinasi tentang kemajuan, dan kelak setalah buk-buku mewarnai dan mengubah hidupnya akan berseru kepada dunia: aku membaca maka aku ada sebagai diktum penting epistimologi ala Rene Descartes, cogito ergo sum.

 

Walau kaum muda Indonesia tidak seperti Rahib di Ordo Santo Benekditus yang mengabdi pada tuhan dengan menyalin naskah-naskah ilahiah menjadi buku-buku sepanjang malam, tentu kaum muda bangsa ini kini telah bekerja dengan segenap militansinya mendemokratisasi bacaan melalui hadirnya kapitalisme cetak8 dan juga barangkali karena  ditopang juga oleh internet. Karena aktifasi anak muda ini pula imaji kemerdekaan itu berulang kali direproduksi kaum muda. Bung Hatta bilang,’ saya rela di penjara asal bersama buku. Karena dengan buku aku bebas.” Itulah imaji kemerdekaan yang juga pernah dialami orang-orang di abad pencerahan (renaissance).

 

Kedua, gerakan yang penuh suka cita dan gembira. Berbeda dengan gerakan literasi zaman old yang identik dengan kerja sunyi, zaman now, gerakan literasi kaum muda ini serasa festival kegembiraan. Ketiga, gerakan literasi diciptakan sebagai rutinitas merayakan era berbagi dan kolaborasi. Kehadiran ‘socmed’, terutama, penting mendinamisasi gerakan literasi kekinian (zaman now) untuk membagika peristiwa dan rencana-rencana kegiatan. Jikalau penggeraknya sedikit baca, nampang lebih banyak di media sosial itu juga harus diterima sebagai bagian kisah-kisah gerakan literasi anak muda kontemporer. Karena motif dekat buku biar kelihatan pinter itu semakin tak valid dikarenakan percampuran evoria, hiburan, dan kerja ideologis di dalamnya.

 

Sebagai contoh, hadirnya evoria dalam gerakan kaum muda pernah disinggung oleh Chie Shimano & Kiyoshi Konno mengenai anak-anak muda yang memakai kaos Che Guevara tanpa mengenal siapa Bung Guevara sebenarnya.7Tidak persoalan tidak semua buku yang dikampanyekan habis terbaca dan tetap PD saja. Golongan muda hari ini, baik buku-buku dan gadget keduanya di genggaman yang sama. Seringkali, gerakan model begini menyaratkan kerelawanan, organisasi yang simple, dan tidak tergantung kepemimpinan personal—no leader just together. Ada pula yang dikemas mirip gerakan anarcho yang ingin mengganti infrastruktur peprustakaan milik pemerintah yang mengikuti jam kantor menjadi lembaga pembelajaran rakyat tanpa aturan jam dan aturan main.

 

Demi perayaan istilah millenial, maka diadakanlah istilah: ‘Gerakan literasi zaman old’ dan ‘Gerakan literasi zaman now.’ Zaman old ditandai dengan sunyinya gerakan dan sebagian besar didominasi oleh negara (dengan sensornya). Di era revolusi, gerakan literasi adalah propaganda anti pemerintahan kolonial sebagimana diceritakan secara apik oleh Pramudya dalam Tetralogi burunya, begitu juga di bawah rezim authoritarian yang menyimpan magma bibliosida tentu gerakan anak-anak muda ini menjadi underground.

 

Sama halnya di India, gerakan literasi itu proses mempersenjati, bukan menghibur masyarakat yang sedang ditindas. Di Amerika Latin, gerakan literasi tidak pernah hanya soal koleksi buku-buku dan penyelenggaraan baca-tulis—ada kebebasan dan kemerdekaan yang harus direbut juga ada kemanusiaan yang diperjuangkan. Karenanya Francis Cody bilang bahwa gerakan literasi adalah gerakan radikal dan menuntut aktivisme progresif-Transformatif.10 Ada kekuatan kharismatik zaman pencerahan di dalamnya. Namun demikian, gerakan literasi zaman old dan baru sangatlah mungkin dapat dikombinasikan, dikolaborasikan.

 

Selain itu, gerakan literasi ‘zaman now’ juga ditandai hilangnya sekat sekat genre bacaan dan target pembaca-nya, inklusif & emansipatif. Jika hatimu tergerak melihat buku-bukumu berserak lalu ingin mendonasikan ke rumah baca atau ke komunitas lainnya, kaulah sahabat pergerakan literasi zaman now. Juga, jika kamu tak ada rasa malu gelar buku-buku di jalanan agar dibaca orang kebanyakan, kaulah barangkalai bagian dari generasi millennial yang diperlukan zaman now. Karena hadirnya internet khususnya sosial media, gerakan literasi ‘zaman now’ yang penuh daya kreatif lebih gampang membuat orang berkumpul, mudah mengembangkan kegiatan berbagi, dan tentu saja lebih cepat bergerak menyuarakan beragam kampanye dan aksi tindakan-tindakan kecil kebaikan (small kindness).

 

Orang orang mencari kebahgaiaan dengan mendorong buku-buku ke jalanan, mencari pembaca, memburu kemanfaatan bacaan bagi sebanyak-banyak orang. Saya kira ke depan, gerakan literasi zaman kekinian adalah ihwal perebutan makna sebagai energi terbarukan yang bisa diproduksi dan reproduksi saban hari sebagai bagian dari hidup.

 

Semoga catatan ala kadarnya ini ada manfaatnya [].

 

 

Catatan:

1 Saya sengaja tidak mengikuti ketentuan UU No.40 Tahun 2009 yang mendefinisikan ‘Pemuda adalah Warga  Negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun.’;

2 dikisahkan Fernando Baez, pakar perbukuan terbaik Dunia, dalam Penghancuran Buku (2013) diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Marjin Kiri. Perpustakaan ini menyimpan 1,5 juta buku, 155 ribu teks langka, 478 manuksrip, jutaan terbitan berkalah dari seluruh dunia. Ini hanyalah salah satu dari peritiwa biblisida di muka bumi.

3 Beberapa contoh misalnya, Book on The Street (PD IPM Gresik), Ransel Pustaka (PD IPM Lamongan), Perpustakaan Jalanan RBK, Perpustakaan jalanan AMM Metro, Perpustakaan Jalanan Pustaka Pelangi (Kulonprogo), Komunitas Jelata Membaca (Banggai), dan sebagainya. Baru sedikit yang dikelola IPM.

4 Dalam buku Jihad literas: Eksperimen Kreatif Rumah Baca Komunitas.

5 Baca selengkapnya di: http://www.rumahbacakomunitas.org/komunitas-yang-memperluas-maknamembaca/

6 lebih detail baca Bennedict Anderson, Imagined Community: Reflection on the origin and spreed of

Nationalism (London: Verso, 1983).

7 Chie Shimano & Kiyoshi Konno dalam biographic Novel: Che Guevara. Yogyakarta: Bentang, tahun 2013.

 

 

David Efendi, Anggota MPI PP Muhammadiyah; pendiri Rumah Baca Komunitas dan terlibat di Perpustakaan Jalanan (ROTS); Pegiat Literasi IG: @pekerja_literasi

Artikel ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pemuda dan Literasi Zaman Now, pada tanggal 20 Nopember 2017, di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

 

 

 

 


Tags: KopdarnasPenggiatLiterasi , UniversitasMuhammadiyahSurakarta

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website