Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Artikel

Homepage

Masa depan Intelegensia dan Kekuasaan

.: Home > Artikel > Majelis
12 Januari 2016 11:22 WIB
Dibaca: 1868
Penulis : David Efendi

Judul buku      : Cendekiawan dan Politik

Penerbit           : LP3ES, Jakarta

Tahun terbit     : 1983,

Hal                   : xxvi+340

 

 

Saya pribadi sangat tertarik pada hasana pemikiran yang banyak berserak di beragam buku yang diterbitkan pada kurun waktu 1980-an di mana pada waktu itu banyak intelektual muda di negeri ini pulang dari studi di luar negeri dan memberikan peran pentingnya dalam pembangunan Negara. Baik bidang sosial maupun applied science menurut saya sama-sama penting dan tidak dapat didikotomikan sedemikian polar. Bahkan, banyak insinyur dan dokter juga banyak terlibat aktif dalam perdebatan ideologi pembangunan. Karenanya, saya cukup apresiatif pada buku-buku ‘lawas’ tetapi menjanjikan harapan cukup baik bagi kelangsungan bangsa ini. Buku yang sedang di review penulis ini adalah salah satunya.

 

Sangat penting untuk memperlihatkan kekuatan buku ini dari sisi penulis. Dapat saya sebutkan kontirbutor buku yang diterbitkan tahun 1983 ini antara lain: Muhamamd Hatta, Taufiq Abdullah, selo Soemardjan, Soejatmoko, Nurcholis Madjid, Wiratmo Soekito, Harsja W. Bachtiar, Y.B Mangunwijaya, Alfian, Arief Budiman, Dorodjatun-Kuntjoro Jakti, dan juga dua indonesianis  Herry J Benda dan Edward Shils. Jika dilihat kapasitas penulis, karya ini pastilah buah pikiran terbaik anak bangsa.

 

Dari sekian penulis  hebat dalam buku ini di awali membincang konsep intelektual yang selalu beririsan jika tidak dibilang sama dengan definisi intelegensia, cendekiawan, kaum terdidik, kaum cerdik pandai. Kelebihan dari para penulis di sini adalah daya kritis yang luar biasa ikhwal memahami apa dan siapa itu intelektual.

 

Dari beberapa karakteristik kelompok intelektual atau cendekiawan ini antara lain; (1) Kebebasan berfikir; (2) idealisme dan penghargaan terhadap proses;dan terakhir adalah (3)keberpihakan. Inilah peran-peran yang menjadikan kelompok ini punya potensi untuk andil dalam upaya melakukan transformasi sosial secara damai. Sebaliknya, apabila peran-peran ini tidak dilakukan maka yang terjadi adalah apa yang disebut dengan pelacuran intelektual, penkhianatan intelektual (Benda, hal.), intelektual salon (hlm.), intelektual aksesoris, tukang sulap intelektual (intelectueel jongleur), intelektual pengasong dan julukan lainnya.

 

Dari tiga karakter itu dapat dijelaskan lebih jauh. Pertama, kemampuan menalar secara bebas dan mampu berfikir diluar meanstream merupakan keunggulan kaum intelektual sebagaimana yang disimpulkan oleh Soemardjan di salah satu bab buku ini. Mengacu pada difinisi Oxford advanced English learners’ dictionary, bahwa intelektual artinya orang-orang yang mempunyai daya nalar yang baik (reasoning power) dan tertarik pada hal-hal yang ruhani (thing of mind) atau keindahan kesenian. Salah satu pembeda intelektual dengan non intelektual adalah kemampuan berfikir bebas yang bertolak belakang dengan jenis manusia yang hanya mengikuti arus kelaziman, arus besar. Nalar kebebasan ini menjadi habitus, dijaga dan dipelihara sebagai nilai-nilai.

 

Kedua, mengenai idealisme dan proses tranformasi sebagai bagian penting kaum cendekiawan dapat kita kutip dari pandangan Soedjatmoko dibawah ini:

 

“…dalam pekerjaan kaum intelektual bukan sukses yang terpenting…Seorang yang menghargai nilai-nilai kebebasannya, menentukan dirinya sendiri oleh dirinya sendiri. Suatu perjuangan mungkin akan gagal, karena, tujuan perjuangan yang bersangkutan tersebut tidak tercapai. Akan tetapi kegagalan itu tidak dengan sendirinya menghapuskan cita-cita yang diperjuangkannya, yang telah ditentukan dirinya sendiri. Belum tentu seorang yang sukses dalam hidupnya dapat menghayati nilai-nilai kebebasan.” (hal.xv)

 

Karena titik tolaknya kebebasan maka kaum intelektual ini lebih dapat dan cocok dikatakan sebagai generalist dari pada specialist.

definisi yang sangat menarik menjawab siapa cendekiawan dapat dikutip dari  Lewis Coser (1976) bahwa cendekiawan adalah manusia ‘yang kelihatannya tidak pernah puas menerima kenyataan sebagaimana adanya….mereka mempertanyakan kebenaran yang berlaku pada saat tertentu, dalam hubungannya dengan kebenaran yang lebih tinggi dan lebih luas.” Artinya, sebenarnya golongan ini taka da hubungannya dengan capaian gelar akademik. Siapa saja dapat menjadi intelektual jika terus menerus melakukan pencarian atas suatu persoalan dan solusinya (kebenarannya).

 

Kaum intelektual seperti ini dapat terdiri dari sastrawan, seniman, dan tokoh informal, atau lainnya. Perjuangannya bukan tanpa haling rintang. Potensi bahayanya golongan ini telah menjadi perhatian tersendiri bagi para penjajah di era colonial, termasuk, di Indonesia. Pembungkaman sistemik, penghilangan panggung para kritikus dapat dilakukan bahkan oleh rezim demokratis sekalipun. Karenanya, menurut Sumiskum (hal.321-322), seorang cendekiawan harus mengerti seni berpolitik, seni bernegosiasi. 

 

Kaum intelektual tak punya kekuasan efektif karena di kutup lain kaum teknokrat dengan dalih modernisasi memegang kekuatan politik efektif.  Munculnya fenomena, meminjam Bahasa Jean-Marie Domenach, ‘ dunia teknologi modern’ telah menegasikan dan menggusur kaum intelektual dalam ruang publik. Bentuk perlawanan baliknya hari ini bisa dilihat dari munculnya gerakan ‘intelektual public.’ Kita bisa saksikan, di hampir semua Negara sedang berkembang menuhankan ‘teknokratisisme’ sebagai ideology pembangunan. Padahal faktanya, di Negara-negara ini masih subur nilai-nilai ruhaniah, nilai-nilai kemanusiaan yang berbeda dengan mesin.

 

Dalam kehidupan politik juga mengalami teknikalisasi sebagaimana yang disinggung Nurcholis Madjid, orang lebih fokus pada demokrasi dan penerapannya sebagai system dan bukan konsentrasi pada upaya pemenuhan keadilan sebagai subtansi. Demokrasi sibuk dihitung indexsnya, sibuk dikomparasikan dan disyukuri-dipestakan tetapi lupa bahwa ada ratusan juta manusia sedang tak dibela oleh demokrasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini jelas dapat memberikan penjelasan, bagaimana runyamnya praktik demokrasi elektoral hari ini yang memicu baragam ketidakpuasan lantasan high cost tetapi tidak memberikan hadiah berupa kepemimpinan yang kuat dan pekerja keras untuk memperjuangkan kehidupan rakyat. Tentu ini menjadi perenungan bersama untuk aksi nyata berikutnya


Tags: Cendekiawan , Poltiik
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : Resensi Buku

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website