Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Artikel

Homepage

Kilasan Sejarah Muhammadiyah

.: Home > Artikel > Majelis
03 Desember 2021 22:17 WIB
Dibaca: 844
Penulis : dalam catatan ANRI

 

 

 

Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan yang bersendikan keagamaan, merupakan organisasi yang berdiri pada masa pemerintahan kolonial. Statuten (Anggaran Dasar/AD) Muhammadiyah menyatakan bahwa organisasi ini berdiri pada 18 November 1912 dengan nama Moehammadijah dan berkedudukan di Yogyakarta. Secara historis, keberadaan Muhammadiyah berawal dari Sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (SIDI) yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan, putera Kyai Haji Abubakar, khatib Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta. Berdasarkan saran dan hasil diskusi dengan beberapa siswa Kweek School Jetis, agar pengajaran pada sekolah itu dapat terus berlangsung sepeninggal Kyai Haji Ahmad Dahlan, maka penyelenggaraan SIDI diusulkan untuk ditangani oleh sebuah organisasi yang kemudian diberi nama Muhammadiyah. Pemilihan nama Muhammadiyah mengandung harapan agar para anggotanya dapat hidup beragama dan bermasyarakat sesuai dengan pribadi Nabi Muhammad SAW. (Pasha & Darban, 2005: 98). Pengakuan Muhammadiyah sebagai Badan Hukum oleh pemerintah Hindia Belanda diberikan pada 1914 dengan dikeluarkannya Besluit 22 Agustus 1914 No. 81.

 

Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan merupakan gerakan Islam, Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, ber-aqidah Islam dan bersumber pada AlQur’an dan Sunnah. Faktor internal yang melatar belakangi pendirian organisasi ini adalah kegemaran Kyai Haji Ahmad Dahlan dalam mempelajari ilmu agama Islam, dan keinginannya untuk menuangkan dalam wujud kebaikan melalui pendirian organisasi yang memusatkan perhatiannya pada pelaksanaan misi dakwah Islam ditengah masyarakat. Menimba ilmu agama dari beberapa orang alim ulama: KH. Mahfud Termas, KH. Nahrowi Banyumas, KH. Muhammad Nawawi Banten, dan banyak ulama di Masjidil Haram, maka membuat KH. Ahmad Dahlan yang memiliki nama kecil Muhammad Darwis mendapat banyak pengetahuan dan pemahaman mengenai agama Islam.

 

Paralel dengan latar belakang kehidupan keagamaan dan ilmu yang dimiliki oleh KH. Ahmad Dahlan, kondisi kehidupan Agama Islam di Indonesia pada saat itu, yang diwarnai dengan ketidakbersihan dan bercampur aduknya pelaksanaan agama Islam dengan kepercayaan tradisional, inefisiensi lembaga-lembaga pendidikan agama Islam, aktifitas-aktifitas misi Katolik dan Protestan serta sikap dari pihak merendahkan golongan Islam, merupakan faktor eksternal yang menjadi daya dorong lahirnya Muhammadiyah. Dengan demikian maka Muhammadiyah merupakan organisasi gerakan pembaharuan yang bertumpu pada pemurnian pemahaman agama Islam serta reformasi dalam bidang pendidikan dan sosial. (Pasha & Darban, 2005: 108, 148).

 

Segera sesudah pendiriannya, Muhammadiyah menarik minat orang-orang Islam, bukan hanya di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah saja, tetapi juga sampai ke wilayah lain, bahkan melintasi batas laut, sampai wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa. Seiring dengan perjalanan waktu, jumlah anggota Muhammadiyah semakin bertambah, dan kegiatan pertemuan yang dihadiri berbagai kalangan mulai diadakan di berbagai tempat.

 

Pada sebuah rapat terbuka (oleh pemerintah kolonial disebut sebagai Openbare propaganda vergadering der vereeniging Muhammadiyah) yang diadakan di Oranjebioscoop Bandung pada 6 Oktober 1929, pemerintah kolonial Belanda menyebutkan bahwa Gerombolan Moehammadiyah afdeeling Bandung telah mengadakan rapat terbuka yang dipimpin oleh sekretaris organisasi bernama Ishak. Rapat dihadiri 400 orang, 40 orang diantaranya perempuan. Rapat dihadiri pula oleh para pemimpin politik seperti: Ir. Soekarno, Maskoen dan beberapa anggota PNI lainnya. Salah seorang pembicara dalam orasinya mengatakan bahwa 20 tahun sejak pendiriannya, jumlah anggota Muhammadiyah mencapai 16.000 orang yang tersebar diberbagai tempat di seluruh Indonesia. (No. 12 Moehammadijah, Verslag van de openbarevergadering der vereniging Moehammadijah, gehouden in de Oranjebioscoop, alhier op Zondag 6 October 1929).

 

Maksud dan tujuan pendirian Muhammadiyah dirumuskan secara eksplisit dalam Anggaran Dasar (AD) Muhammadiyah, mengalami penambahan dan perkembangan serta penyesuaian dari waktu ke waktu, tetapi tidak mengubah prinsip dasar dan jiwa organisasi. Kongres Muhammadiyah ke-22 pada 21-28 Juni 1933 di Semarang menegaskan bahwa Muhammadiyah memiliki dua hajat yaitu: memajukan dan menggembirakan pengajaran/pelajaran agama Islam di Hindia Belanda, serta memajukan dan menggembirakan cara kehidupan agama Islam kepada lid-lid (anggota-anggotanya). Untuk melaksanakan hajat tersebut maka akan dilakukan dengan cara mendirikan dan membantu sekolah-sekolah dengan pelajaran agama Islam, membantu mendirikan dan memelihara rumah wakaf dan masjid, menerbitkan kitab-kitab agama Islam, menolong kesengsaraan dan memelihara fakir miskin serta anak yatim, mendidik pemuda menjadi orang Islam yang berguna. (Badawi, 2007: 45). Setelah empat (4) kali pergantian kepemimpinan, yaitu sejak kepemimpinan Kyai Haji Ahmad Dahlan (1912-1923), Kyai Haji Ibrahim (1923-1931), Kyai Haji Hisyam (1931-1936), dan Kyai Haji Mas Mansyur (1936-1942), maka Ki Bagus Hadikusumo (1942-1953) melalui Muktamar XXXI yang diadakan di Yogyakarta pada 21-26 Desember 1950 mengesahkan Anggaran Dasar Muhammadiyah baru, dengan menambahkan Mukaddimah pada AD yang mencerminkan gagasan dan pokok-pokok pikiran Muhammadiyah. (Pasha & Darban, 2005: 127-128, Badawi, 2007:123-125).

 

Perubahan dalam bidang organisasi Muhammadiyah terjadi pada tahun 1953 ketika Muktamar Muhammadiyah ke-32 yang berlangsung pada 9-14 Juli 1953 di Purwokerto memutuskan untuk mengganti nama Pengurus Besar (Hoofd Bestuur) dengan Pusat Pimpinan, dan sejak tahun 1959 hingga selanjutnya disebut dengan Pimpinan Pusat. Usulan memindahkan tempat kedudukan Muhammadiyah dari Yogyakarta ke pusat pemerintahan Republik Indonesia di Jakarta terjadi pada Muktamar ke-33 di Palembang. Usulan ini belum dilaksanakan, karena Rapat Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada 25 Desember 1962 menetapkan bahwa tempat kedudukan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tetap di Yogyakarta. Secara organisatoris, kepengurusan Muhammadiyah disusun secara vertikal mulai dari Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang dan Pimpinan Ranting.

 

Pada periode perjuangan kemerdekaan Indonesia, tokoh-tokoh Muhammadiyah memiliki andil dan peran yang penting dalam beberapa peristiwa besar. Kyai Haji Mas Mansur bersama dengan beberapa orang lainnya membangun dan mensponsori lahirnya organisasi federasi berbagai organisasi Islam yang kemudian dinamakan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), sedang Ki Bagus Hadikusumo merupakan salah satu dari anggota Badan Usaha Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sebelum itu, perlawanan Muhammadiyah atas pemerintah kolonial dalam persoalan pendidikan bumiputra, yang merupakan keresahan atas masuknya ideologi Barat sebagai akibat pendidikan tinggi Barat kepada pemuda-pemuda Indonesia ditunjukkan oleh Muhammadiyah dengan wacana mendirikan sebuah Universitas Islam di Indonesia pada tahun 1937. Bahkan jauh sebelum itu, pada Kongres ke-21 pada 1932 Muhammadiyah memutuskan untuk terus berusaha menolak berlakunya Goeroe Ordonansi yang merugikan pendidikan Islam. (Benda, 1980: 125, 161, Badawi, 2007: 92, 33). Kiprah anggota dan tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam berbagai bidang terus berlanjut pada periode kemerdekaan.

 

Keterkaitan Muhammadiyah dengan situasi politik tanah air tercermin dari sikap organisasi terhadap keberadaan partai-partai politik di Indonesia. Tahun 1912–1926, Muhammadiyah dinyatakan sebagai bukan organisasi politik. Meski tidak pernah menentukan sikap terhadap aktivitas politik, beberapa anggota Muhammadiyah terlibat secara aktif dalam Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII). Memasuki tahun 1927, PSII menetapkan disiplin organisasi dengan menyatakan bahwa anggota PSII dilarang merangkap kanggotaan dengan Muhammadiyah. Usaha dari beberapa cabang PSII untuk mendirikan PRII mengalami kegagalan. Tahun 1938, para pemuka Jong Islamieten Bond (JIB) dan Muhammadiyah sukses mendirikan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), namun secara organisasi Muhammadiyah tidak pernah memutuskan sikap terhadap PSII.

 

Periode 1945-1960, MIAI yang pada periode pendudukan Jepang berubah nama menjadi Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dinyatakan sebagai partai politik, dan Muhammadiyah menyatakan diri sebagai anggota istimewa. (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2012: 23,24).

 

Pada masa pemerintahan Orde Baru, tepatnya pada 1971, Muhammadiyah melalui Muktamar ke-38 di Ujung Pandang menyatakan ketidak berpihakan pada kekuatan politik manapun. Organisasi ini menetapkan hubungan Muhammadiyah dengan partai-partai dan organisasi-organisasi lain melalui pernyataannya bahwa Muhammadiyah tidak mempunyai hubungan organisatoris dan tidak merupakan afiliasi dari partai politik atau organisasi apapun. Pendirian politik Muhammadiyah menyatakan tidak memihak kepada kekuatan politik apapun ditegaskan kembali pada Muktamar ke-41 di Surakarta.

 

Menjelang akhir kekuasaan pemerintahan Orde Baru, kepemimpinan Muhammadiyah periode 1995-2000 diwarnai dengan pergantian dari Prof. DR. H.M. Amin Rais kepada Prof. DR. Syafii Maarif. Ijtihad politik sebagai hasil dari Keputusan Sidang Tanwir Muhammadiyah yang direalisasikan dalam bentuk pendirian Partai Amanat Nasional (PAN) yang bersifat inklusif/terbuka, dan melantik Prof. DR. H.M. Amin Rais sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PAN menyebabkan Prof. DR. Syafii Maarif didaulat sebagai Ketua Muhammadiyah periode 1995-2000.

 

Amal usaha Persyarikatan Muhammadiyah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sesuai dengan tuntutan zaman. Menurut Anggaran Rumah Tangga (ART) 2005 Pasal 3, usaha Muhammadiyah diwujudkan dalam bentuk amal usaha, program, dan kegiatan yang meliputi:

 

1. Menanamkan keyakinan, memperdalam dan memperluas pemahaman, meningkatkan pengamalan, serta menyebarluaskan ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan.

2. Memperdalam dan mengembangkan pengkajian ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan untuk mendapatkan kemurnian dan kebenarannya.

3. Meningkatkan semangat ibadah, jihad, zakat, infak, wakaf, shadaqah, hibah, dan amal shalih lainnya.

4. Meningkatkan harkat, martabat, dan kualitas sumber daya manusia agar berkemampuan tinggi serta berakhlaq mulia.

5. Memajukan dan memperbaharui pendidikan dan kebudayaan, mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta meningkatkan penelitian.

6. Memajukan perekonomian dan kewirausahaan ke arah perbaikan hidup yang berkualitas.

7. Meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

8. Memelihara, mengembangkan, dan mendaya gunakan sumber daya alam dan lingkungan untuk kesejahteraan.

9. Mengembangkan komunikasi, ukhuwah, dan kerjasama dalam berbagai bidang dan kalangan masyarakat dalam dan luar negeri.

10. Memelihara keutuhan bangsa serta berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

11. Membina dan meningkatkan kualitas serta kuantitas anggota sebagai pelaku gerakan.

12. Mengembangkan sarana, prasarana, dan sumber dana untuk menyukseskan gerakan.

13. Mengupayakan penegakan hukum, keadilan, dan kebenaran serta meningkatkan pembelaan terhadap masyarakat.

14. Usaha-usaha lain yang sesuai dengan maksud dan tujuan Muhammadiyah pada Anggaran Dasar (AD) 2005 Pasal 6 yaitu menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

 

Untuk mewadahi program-program tersebut, struktur organisasi disusun dalam beberapa kelompok besar, berupa Jaringan Kelembagaan, Pembantu Pimpinan Persyarikatan berupa Majelis-majelis dan Lembaga-Lembaga, serta Organisasi Otonom yang menjalankan fungsi-fungsi utama Persyarikatan Muhammadiyah:

 

a. Fungsi Sosial menjadi tugas Majelis Pendidikan, Pengajaran & Kebudayaan (PP&K) dan Majelis Tabligh.

b. Fungsi Politik Kenegaraan (dalam rangka input bagi sistem politik meliputi: Pendidikan Politik, Pembinaan pemeran politik, Memadukan kepentingan dan pendapat politik, Menyalurkan pendapat/kepentingan politik, serta Komunikasi politik) ditangani oleh Majelis Hukum dan Hak Asasai Manusia, Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik.

c. Fungsi di bidang keagamaan yang ditangani oleh: 1) Majelis Tarjih dan Tajdid dengan tugas menghidupkan tarjih, tajdid dan pemikiran Islam di kalangan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan yang kritis dan dinamis di dalam masyarakat, serta memberikan jawaban terhadap problem dan tantangan perkembangan sosial budaya dan kehidupan umat Islam pada umumnya; 2) Majelis Tabligh, memimpin pelaksanaan dakwah di bidang tabligh secara terencana dan terprogram dengan jelas yang meliputi seluruh aspek kegiatan dakwah (pengajian di berbagai tingkat); 3) Majelis Wakaf dan Kehartabendaan, mengelola bidang perwakafan, pertanahan dan kekayaan yang dimiliki oleh Muhammadiyah.

d. Fungsi di bidang pendidikan, diserahkan kepada Majelis Pendidikan Tinggi, Pendidikan Dasar dan Menengah, lembaga Penelitian dan Pengembangan serta Majelis Pendidikan Kader, yang masing-masing menangani penyelenggaraan pendidikan pada perguruan Muhammadiyah sesuai ruang lingkupnya masing-masing.

e. Fungsi di bidang sosial kemasyarakatan dan kesehatan, diamanahkan kepada Majelis Pembina Kesehatan Umum, Majelis Pelayanan Sosial, Majelis Pemberdayaan Masyarakat, Majelis Lingkungan Hidup dan Lembaga Penanggulangan Bencana Alam dengan tugas melaksanakan penyelenggaraan Rumah Sakit, Klinik, Panti Asuhan Yatim Piatu, dll.

f. Fungsi di bidang ekonomi diserahkan kepada Majelis Ekonomi dengan tugas membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan mengembangkan ekonomi sesuai dengan ajaran Islam serta untuk meningkatkan kualitas pengelolaan amal usaha Muhammmadiyah.

 

Jaringan Kelembagaan Muhammadiyah meliputi Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, Pimpinan Ranting serta Jama’ah Muhammadiyah. Pembantu Pimpinan Persyarikatan (terdiri dari Majelis-Majelis dan Lembaga-Lembaga), serta Organisasi Otonom (Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, Naisyatul Aisyiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Hizbul Wathan, Tapak Suci, dll).

 

 

 

Sumber:  INVENTARIS ARSIP PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 1922–2001,

DIREKTORAT PENGOLAHAN DEPUTI BIDANG KONSERVASI ARSIP ANRI (2018)


Tags: SejarahMuhammadiyah , ANRI , MuseumMuhammadiyah

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website