Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Artikel

Homepage

Empat Langkah Penguatan Budaya Organisasi Muhammadiyah

.: Home > Artikel > Majelis
21 Februari 2020 14:18 WIB
Dibaca: 1281
Penulis : Iu Rusliana

panalaCreation

 

21/02/2020 | est. baca 8 menit

Hanya tinggal hitungan hari saja, Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Solo akan digelar. Ada satu isu yang menurut penulis luput dari hingar bingar wacana yang didiskusikan, diseminarkan bahkan dipublikasikan, yaitu tentang menguatkan budaya organisasi Muhammadiyah. Mengapa? Karena wacana tentang budaya organisasi mendesak dibahas.

Ada tiga komponen budaya organisasi yaitu, pertama, artefak, budaya organisasi yang bersifat fisik dan mudah dilihat seperti logo, bangunan, sejarah, upacara dan bahasa. Kedua,  nilai yang oleh organisasi deklarasikan sebagai nilai bersama. Ketiga, asumsi dasar yang diterima begitu saja, asumsi implisit, menjadi kepercayaan dan filosofi masing-masing individu anggota organisasi (Colquit, Lepine & Wesson, 2009). Belum banyak yang membincangkan tentang budaya organisasi. karena mungkin isunya tak seksi dibandingkan politik dan wacana pemikiran lainnya.  

 

Muhammadiyah tidak tumbuh di ruangan hampa, a historis, namun mengalami pergumulan internal dan eksternal yang dinamis. Hal tersebut terjadi di level ranting, cabang, daerah dan wilayah, hingga pimpinan pusat dalam skala nasional maupun global. Pergulatan pemikiran dan gerakan itu mengkristalisasikan ideologi organisasi. Menjadi identitas gerakan atau kita kenal sebagai budaya organisasi Muhammadiyah.

 

Problem Budaya Organisasi

Tarikan gerakan ke kiri dan kanan yang sangat terasa saat ini akan memudar seiring dengan menguatnya budaya organisasi moderat yang telah dideklarasikan Muhammadiyah. Ada hal yang menghawatirkan, yakni Muhammadiyah terlalu terbuka dan lemah dalam proses kaderisasi.

 

Selain itu banyak individu maupun kelompok kanan yang berlindung di balik rumah organisasi Muhammadiyah. Proses rekrutmen pada organisasi otonom sangat terlambat. Bahkan di banyak daerah hidup segan mati tak mau. Ironisnya lagi, Muhammadiyah sudah seperti milik keluarga dan menjadi alat pencaharian kebutuhan hidup para pengurusnya. 

 

Di sisi lain, masih ada amal usaha Muhammadiyah yang tidak menjadi tempat proses kaderisasi. Dalam hal merekrut karyawan, cenderung longgar bahkan ugal-ugalan. Akibatnya banyak orang yang mencari hidup di amal usaha Muhammadiyah, tanpa tahu ideologi dan budaya organisasinya. Bahkan karena lemahnya kontrol pimpinan amal usaha, mereka dengan leluasa mengembangkan ideologi gerakan di dalam amal usaha.

 

Para kader yang berjuang dari bawah, di organisasi otonom, harus ditempa perihnya persoalan pemenuhan kebutuhan hidup, pekerjaan, tanpa proses pemihakan (afirmasi) serius dari organisasi. Terpuruk dan termiskinkan oleh ketidakadilan sistem yang dibuat seolah-olah atasnama profesionalitas. Padahal para kader itu berjibaku menggerakkan organisasi, sementara urusan kebutuhan hidupnya belum terpenuhi. Ikhlas adalah bekal gerakan, namun ketidakadilan kebijakan akan menggerogoti ruh jihad yang telah tersemayamkan.

 

Harus diwaspadai pula situasi dimana kekayaan yang melimpah di amal usaha akhirnya hanya dinikmati oleh oknum pimpinan. Mereka jorjoran meminjam uang ke bank, tanpa kontrol ketat. Memfasilitasi dirinya tanpa kepatutan. Akibatnya, siapapun penerus pimpinan amal usaha berikutnya akan menanggung beban berat utang sebagai warisan. Bukan rahasia kalau dalam proses mengajukan pinjaman itu, ada sejumlah fee dana yang digelontorkan bagi yang mengajukan pinjaman. Belum terlihat ada manajemen risiko utang yang dikelola dengan baik di organisasi ini.    

 

Sebelum terlambat, gerakan Muhammadiyah harus menyeimbangkan tata kelola amal usaha di satu sisi, dan pembangunan persyarikatan di sisi lain. Harus seimbang, saling mengisi dan memajukan. Tak boleh amal usaha dan pimpinannya bergelimang uang, sementara persyarikatannya terpuruk karena minusnya keuangan.

 

Usia seratus tahun lebih tak boleh membuat kader mudanya loyo. Ingatlah, apa yang dirasakan saat ini merupakan warisan dari visi besar para pendiri di masa awal. Meletakkan pondasi budaya organisasi yang kokoh dan kewajiban kita untuk menguatkannya agar sanggup bertahan dan diwariskan dalam kondisi yang lebih baik di masa depan. Tak ada yang kebetulan, semuanya merupakan buah jerih payah amal soleh para pimpinan, kader dan seluruh pemangku kepentingan Muhammadiyah.

 

 

Karena itu, Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup (MKCH) Muhammadiyah, muqaddimah Anggaran Dasar, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), kepribadian Muhammadiyah, masalah lima, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga menjadi ideologi dan  nilai budaya organisasi, espoused values (Schein, 2017). Diharapkan lebih dalam lagi,tidak hanya dipahami, diresapi dan menjadi sistem berpikir dan kesadaran tertinggi, menjadi panduan bersikap secara personal dan sosial organisasi.

 

Empat Langkah

McShane (2013) mengajukan empat strategi untuk melakukan penguatan budaya organisasi. Pertama, merekrut, menyeleksi dan sosialisasi anggota baru. Budaya organisasi akan dengan mudah ditanamkan kepada anggota baru. Kaderisasi adalah kunci dimana peran majelis di semua level menjadi penting. Tidak hanya majelis kader, tapi juga majelis lain seperti majelis pendidikan dasar dan menengah serta majelis dikti. Bahkan amal usaha kesehatan dan sosial juga menjadi proses awal bagaimana simpatisan menjadi anggota Muhammadiyah.

 

Kaderisasi dilihat sebagai prinsip kolaborasi gerakan keseluruhan. Sejak dari rumah, kaderisasi dilakukan orang tua kepada anaknya agar menjadi kader Muhammadiyah sejati. Sejak di Pendidikan Anak Usia Dini, kaderisasi dilakukan. Banyak pintu kaderisasi, hanya saja Muhammadiyah terkesan belum sungguh-sungguh melakukannya. Bahwa apa yang dilakukan adalah sebagai bentuk kebaikan, tentu, namun melibatkan banyak orang untuk aktif bersama menebar kebaikan tentu jauh lebih baik dan bukankah itu esensi dari dakwah.

 

Kedua, keteladanan dari pendiri dan pimpinan. Anggota dan kader akan melihat para pendiri dan pimpinan dalam menjalankan praktik budaya organisasi. Harus diakui dengan jujur, di tingkat wilayah, daerah, cabang dan ranting, kadang masih ada tradisi menguasai amal usaha oleh keluarga. Padahal, amal usaha itu milik organisasi, bukan pribadi. Aturan organisasi harus terus disosialisasikan agar menjadi kesadaran gerakan bersama menebar teladan di setiap jenjang pimpinan.   

 

Ketiga, menjadikan apresiasi pada prestasi sebagai budaya organisasi yang konsisten. Muhammadiyah telah melakukannya, tinggal terus mengembangkan, menurunkan pada level pimpinan di bawahnya. Hingga di akar rumput semakin merasakan budaya menghargai semua karya dan prestasi.

 

Keempat, menyelaraskan artefak dengan nilai budaya yang ada dalam budaya yang dideklarasikan dan dianut. Muhammadiyah adalah organisasi yang miskin simbol. Namun perlahan sudah mulai mengembangkan simbol-simbolnya. Artefak adalah bentuk fisik budaya yang selalu hadir dalam semua ekspresi budaya manusia. Dalam situasi seperti ini, pertukaran simbolik tak terhindarkan. Menjadi kebutuhan untuk merumuskan semua simbol-simbol budaya organisasi Muhammadiyah.

 

Empat langkah ini krusial diimplementasikan secara simultan dan berjenjang dari pusat hingga ranting. Seluruh komponen penggerak organisasi bergerak bersama, menyadari sepenuh hati bahwa kaderisasi adalah kunci dan ideologi harus diresapi pada relung kesadaran terdalam agar menjadi budaya organisasi. Sebagai induk organisasi, Muhammadiyah harus menguatkan budaya organisasi. Setiap organisasi di bawahnya, termasuk amal usaha wajib menjalankan ideologi yang telah ditetapkan. Wallaahu’alam.

 

*) Divisi Broadcasting dan Informasi Publik MPI PP Muhammadiyah
Dosen Filsafat UIN Sunan Gunung Djati Bandung

 

sumber: ibtimes.id 


Tags: EmpatLangkahPenguatanBudayaOrganisasiMuhammadiyah

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website