Majelis Pustaka dan Informasi - Persyarikatan Muhammadiyah

Majelis Pustaka dan Informasi
.: Home > Artikel

Homepage

26 Tahun PTA Yogyakarta: UNIVERSITAS 'AISYIYAH DAN KIPRAH MEMAJUKAN PEREMPUAN

.: Home > Artikel > Majelis
05 November 2017 00:44 WIB
Dibaca: 2689
Penulis : David Efendi

 

 

“…perubahan status STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta menjadi Unisa berhasil dicapai berkat ikhtiar yang kuat dan doa yang tak kunjung padam.”

(Dra. Hj. Siti Noordjannah Djohantini, M.M., M.Si., Ketua Umum PP ‘Aisyiyah)

 

Unisa bisa menjadi ruang pendidikan berkeunggulan seperti yang diharapkan oleh Persyarikatan.”

(Warsiti, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat.,  Rektor Unisa Yogyakarta)

 

 

Pada tanggal 19 Mei 1917 bertepatan dengan 27 Rajab 1335 H, Muhammadiyah mendirikan Aisyiah sebagai bagian urusan perempuan muslim. Nyai Walidah ditunjuk sebagai pemimpinnya lalu dijadikan penasehat dan pelindung organisasi yang akan menjadi tonggak kebangkitan perempuan Hindia Belanda dari kondisi yang jumud, terdiskriminasi, dan tertinggal. Penguasaan ilmu agama Nyai Ahmad Dahlan sangatlah memadai dan menonjol pada masa itu. Pada awal revolusi, istri pendiri Muhammadiyah giat membantu perjuangan hingga usianya sudah uzur. Pada masa perang, para wanita Muhammadiyah dianjurkan untuk mendirikan dapur umum untuk membantu tentara yang sedang berperang di garis depan.

 

Siti Syamsiyatun, dalam bukunya Pergolokan putri Islam: Perkembangan wacana gender dalam Nasyiatul Aisyiyah 1965-2005, menyebutkan bahwa ide ‘pemberontakan’ Kiai Dahlan yang diekpresikan dengan pendirian ‘Aisyiyah (1917) yang berasal dari transformasi nama aslinya Sapa Tresno (1914) adalah akibat kebodohan dan keterbelakangan kaum bumiputra yang teramat sangat pada akhir abad XIX. Surat An-Nahl ayat 97 telah memberikan ruh teologi di dalam langkah perjuangan ‘Aisyiyah khususnya dan Kiai Dahlan. Ini juga disebut ayat transformatif yang juga sesuai dengan sepak terjang Unisa sebelum menjadi hebat seperti sekarang yang kita saksikan sekarang.

 

Kontribusi ‘Aisyiyah telah dicatat dalam prasasti sejarah, yaitu sebagai salah satu alasan KHA Dahlan mendapat gelar pahlawan yang dicantumkan dalam Keputusan Presiden RI No. 657 tanggal 27 Desember 1961 yaitu disebut disana: “…telah memelopori kebangunan wanita bangsa Indonesia untuk mencapai pendidikan, dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.” Dalam periode berikutnya, Nyai Walidah pun diangkat sebagai pahlawan nasional karena kepeloporan dan luasan pergerakannya, sehingga tak heran seorang Indonesianis dan peneliti Islam di Indonesia, James L. Peacock, menjuluki ‘Aisyiyah sebagai pergerakan perempuan Islam terbesar di dunia. Gerakan ‘Aisyiyah yang juga inspiratif ini layak untuk diperkuat dengan peran yang meluas di abad kedua.

 

Dalam kurun waktu 1965-2005, menurut catatan Syamsiyatun (2016), menunjukkan tren naik kelompok perempuan muda Islam mengakses perguruan tinggi, baik di lembaga negeri maupun swasta. Kiprah STIKES ‘Aisyiyah juga teramat sayang jika dilupakan di dalam peranan ini.

 

Pada saat ‘Aisyiyah sudah memasuki perjalanan 1 Abad, gerakan ini pantas dijuluki sebagai pelopor pembaharuan perempuan muslim Indonesia. Sebagai organisasi perempuan di Indonesia yang berusia hampir 100 tahun, ‘Aisyiyah sudah memiliki pengalaman dalam berkontribusi memajukan perempuan Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan, baik bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kesejahteraaan sosial, penyadaran hukum, pendidikan politik, dan pemberdayaan perempuan. ‘Aisyiyah sebagai organisasi otonom perempuan Muhammadiyah bekerja di seluruh provinsi di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.

 

‘Aisyiyah merintis berdirinya pendidikan untuk anak-anak yang pertama di Indonesia dengan nama Frobel School, yang saat ini bernama TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal (TK ABA). Dalam perjalanannya, ‘Aisyiyah juga mencanangkan pemberantasan buta huruf, baik buta huruf Latin maupun buta huruf Arab, memberikan pendidikan keagamaan bagi para buruh batik, mendirikan mushola perempuan pertama di tahun 1922 yang kemudian direplikasi oleh ‘Aisyiyah di seluruh Indonesia dan menjadi ciri khas ‘Aisyiyah.

 

Berbagai kegiatan yang diinisiasi oleh ‘Aisyiyah tersebut merupakan upaya meningkatkan pengetahuan dan mendorong partisipasi perempuan dalam dunia publik. Selain itu, untuk menyebarkan ide-ide pembaharuan, pada tahun 1926 ‘Aisyiyah menerbitkan majalah organisasi yang bernama Suara ‘Aisyiyah, dan masih terus terbit hingga saat ini.Dalam bidang pendidikan, TK ABA yang mendapat besutan langsung Nyai Walidah, istri Kiai Ahmad Dahlan ini berlanjut sampai hari ini, PAUD/TK dan juga TPA TPQ yang dikelola organisasi perempuan ‘Aisyiyah ini telah mencapai 19.181 (sumber: MPI PP Muhammadiyah). ‘Aisyiyah juga mengelola SD serta Pendidikan Luar Sekolah.

 

Menjelang satu abad ‘Aisyiyah, capaian monumentalnya adalah berdirinya universitas pertama milik gerakan perempuan di Indonesia yaitu Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta (UNISA) pada tahun 2016 silam. Dari sebuah Sekolah Bidan ‘Aisyiyah (1963) sampai menjadi universitas yang modern dan besar, tentulah menjadi sejarah pergerakan yang perlu diapresiasi keberadaannya. Peguruan tinggi ini dirintis dengan jiwa dedikasi tinggi, keuletan, ketahanan, dan kreatifitas yang luar biasa. Tidak banyak yang tahu, bahwa Unisa yang megah ini dimulai dari sebuah sekolah.

 

Capaian ini merupakan sejarah perjuangan yang sangat panjang dan besar bagi ‘Aisyiyah dan juga bagi bangsa Indonesia sendiri, dari periode Kolonial Belanda sampai hari ini.  Jadi, sangat disayangkan jika tidak terbukukan dengan baik. Banyak informasi yang beragam tersedia di berbagai arsip mengenai sejarah dan sepak terjang ‘Aisyiyah dalam kiprah memintarkan perempuan Indonesia dan terlibat aktif membangkitkan jiwa kemandirian perempuan. Sejarah, dalam artian yang sesungguhnya, akan memiliki arti penting sebagai ‘pijakan hidup’ sebuah komunitas/manusia bila dikaji melalui berbagai ujicoba pendekatan. Dengan menggunakan teori dan metodologi yang memadai, proyek penulisan sejarah akan menghasilkan jenis sejarah baru (cabang sejarah). Kerja-kerja rekonstruksi sejarah tidak bisa ditunda-tunda (merekonstruksi apa saja yang sudah dipikirkan, dikerjakan, dikatakan, dirasakan, dan dialami oleh seseorang/komunitas).

 

Salah satu sebab mengapa ini perlu ditulis adalah karena keberadaan UNISA Yogyakarta yang resmi berdiri 2016 sejatinya punya sejarah pengalaman yang panjang dan berliku. Selama hampir satu abad tentu bukan perjalanan yang ringan —tentu banyak sekali hal bermanfaat yang tidak terkisahkan atau belum terdokumentasikan dengan baik. Karenanya wajib hukumnya dituliskan sebagai bukti spirit pencerahan yang ada dalam setiap helai nafas kiprah Muhammadiyah.

 

 

Sekolah Bidan ‘Aisyiyah dan PKO

 

Sejarah Unisa memiliki ikatan emosional dan pengalaman dengan keberadaan Rumah Sakit PKO (Penolong Kesengsaraan Omoem) yang berdiri sejak dan melewati dua era kolonial, yaitu Belanda dan Jepang (1923). Keberadaan sekolah menengah Perawat dan Bidan milik ‘Aisyiyah ini telah memberika andil besar dalam keberlanjutan pelayanan kesehatan ummat yang dilakukan PKO (sejak 1962 berubah menjadi PKU Muhammadiyah). Dalam perjalanannya, ‘Aisyiyah (bersama Muhammadyah) juga terjun dalam bidang kesehatan yang dianggap menjadi jalan mendorong perempuan untuk maju dan sejahtera, dengan mendirikan 87 Rumah Sakit Umum, 16 RS Ibu dan Anak, 70 RS Bersalin, 106 Balai Pengobatan (BP), 20 Balkesmas, 76 BKIA, 105 Rumah Bersalin, serta Posyandu yang tersebar di seluruh Indonesia.

 

Pada mulanya, Rumah Sakit PKO Muhammadiyah berdiri di Jagang Notoprajan 72 Yogyakarta, kemudian mengalami perpindahan dua kali di Jalan Ngabean nomor 12B dan yang terakhir Rumah Sakit PKO Muhammadiyah dipindah ke Jalan Ngabean nomor 14, atau sekarang lebih dikenal Jalan KHA Dahlan hingga sekarang. Pelayanan Rumah Sakit PKO Muhammadiyah dibagi menjadi dua yaitu Klinik dan Poliklinik. Polikilinik untuk pasien berobat, sementara klinik untuk pasien yang mengalami rawat jalan. Pembangunan Rumah Sakit PKO Muhammadiyah juga dibarengi dengan Rumah Obat untuk memenuhi ketersdiaan obat bagi pasien PKO Muhammadiyah. PKO Muhammadiyah terus berkembang baik di Yogyakarta maupun di seluruh Jawa. Pelayanan yang diberikan pun terus meningkat, menyesuaikan dengan perkembangan zaman sehingga mampu memberikan pertolongan bagi seluruh pasien yang berobat di Rumah Sakit PKO Muhammadiyah.

 

Tahun 1923 merupakan tahun kebangkitan bagi PKO Muhammadiyah. Perkembangan PKO Muhammadiyah nampak nyata setelah tahun 1923 berhasil menyusun aturan dasar organisasi dalam Qa’idah Moehammadijah Bahagian Penolong Kesengsaraan Omoem (PKO). Seluruh kegiatan maupun urusan kelembagaan diatur secara rapi dalam Qa’idah tersebut. Hal tersebut mempermudah PKO Muhammadiyah untuk menjalankan seluruh rangkaian kegiatan organisasi. Ini dibuktikan dengan berdirinya pertolongan PKO Muhammadiyah yang cukup besar pada tahun 1923, berupa rumah miskin (armhuis), rumah yatim (weeshuis, darul aytam) dan rumah sakit (hospital).

 

Kegiatan PKO Muhammadiyah juga tetap berlanjut meski Perang Dunia II tengah berlangsung. Franco ‘Amal (perangko), dengan gambar kegiatan PKO Muhammadiyah yang berlangsung antara tahun 1941-1942, menjadi bukti bahwa PKO Muhammadiyah masih eksis hingga akhir pemerintahan Hindia- Belanda. PKO Muhammadiyah pun terus berjalan menjadi bagian dari Muhammadiyah meski Hindia Belanda sudah dikuasai oleh Jepang dan mengakhiri masa-masa kolonialisasi Belanda di Hindia Belanda. Meskipun demikian, PKO Muhammadiyah masih tetap berdiri hingga tahun 1962, berganti nama menjadi Pembina Kesejahteraan Ummat. Tujuannya ialah agar PKU bukan sekedar menolong orang yang sakit namun juga mensejahterakan ummat.

 

Pada penggalan sejarah berikutnya, kemudian sekolah menengah perawat dan bidan mengambil peran di dalam pelayanan kesehatan di PKU Muhammadiyah.

 

 

Dari Sekolah Menengah Menjadi Universitas

 

Dalam dokumen laporan Muktamar Satu Abad ‘Aisyiyah, disampaikan bahwa ada upaya menata kelembagaan pendidikan yang ditangani ‘Aisyiyah, mulai dari TK sampai pendidikan tinggi yang bernaung di bawah ‘Aisyiyah. Dalam pendidikan menengah, ‘Aisyiyah telah mengembangkan SD Unggulan ‘Aisyiyah, Boardingschool ‘Aisyiyah yang kian berkembang di DIY, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, dan sebagainya.

 

Pun dalam revitalisasi perguruan tinggi, setelah menjadi sekolah tinggi, STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta yang dikelola PP ‘Aisyiyah ini tergolong sekolah tinggi yang membanggakan karena prestasinya, yaitu menjadi satu-satunya sekolah tinggi kesehatan milik swasta yang institusinya meraih Akreditasi B. Sekolah Tinggi ini pernah menempati urutan pertama di antara STIKES lainnya di Indonesia. Sedangkan, diantara 3.320 perguruan tinggi se-Indonesia, STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta berada di jajaran 100 besar, yaitu di peringkat 72 (berdasarkan SK Keputusan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia No 492.a/M/KP/VIII/2015 tentang Klasifikasi dan Pemeringkatan Perguruan Tinggi di Indonesia). 

 

Meningkatkan status Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan menjadi Universitas merupakan bagian dari program utama yang dijalankan mengawali Abad Kedua dan telah menjadi agenda Muktamar ‘Aisyiyah serta menjadi target Muktamar ‘Aisyiyah ke-47 di Makassar tahun 2015 silam. Unisa menjadi tonggak baru bagi dunia pendidikan tinggi. Diharapkan, Unisa tidak hanya sekadar menjadi penyelenggara pendidikan, namun juga dapat berperan menjadi kekuatan dalam memajukan bangsa melalui dunia perempuan. Universitas ini juga diyakini akan semakin menunjukkan gerakan perempuan yang mampu melahirkan institusi perguruan tinggi modern. Selain itu, Unisa dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kehidupan bangsa dan inspirasi penting bagi dunia pergerakan perempuan.

 

Menurut Ketua Umum PP ‘Aisyiyah, Dra. Hj. Siti Noordjannah Djohantini, M.M., M.Si., setidaknya ada tiga tujuan utama berdirinya Universitas ‘Aisyiyah ini. Pertama, meningkatkan peran pendidikan di Indonesia. Hal ini penting karena pendidikan akan menjadi pilar strategis untuk mencerdaskan bangsa. Kedua, Unisa diharapkan dapat mengaktualisasikan peran dari gerakan 'Aisyiyah. Noordjannah berpendapat, gerakan 'Aisyiyah bertujuan menciptakan dunia perempuan Indonesia yang berkemajuan. Ketiga, 'Aisyiyah ingin memperkuat masyarakat Islam yang madani lewat lembaga pendidikan tinggi, yakni Unisa. 

 

Setelah seabad berkiprah, 'Aisyiyah akhirnya memiliki universitas, yakni Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta (Unisa). Berdirinya Unisa menjadikan 'Aisyiyah sebagai ormas wanita Islam pertama yang memiliki universitas. Surat keputusan diserahkan oleh Sekjen Kemenristekdikti, Ainun Naim, kepada Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, dalam Rapat Koordinasi Seluruh Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan 'Aisyiyah di Semarang, Jawa Tengah. Pada tahun ajaran 2016/2017, Unisa sudah mulai menyelenggarakan pendidikan dengan 16 Program Studi. 

 

Dengan demikian, keterlibatan ‘Aisyiyah dalam pendidikan perempuan menjadi satu kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia, yang berarti bahwa perempuan Indonesia juga maju seperti laki-laki pada umumnya, sehingga praktik pendidikan tidak relevan lagi untuk perlakuan tidak adil berdasarkan gender. ‘Aisyiyah telah mendidik bangsa, turut andil membentuk karakter bangsa, bahkan jauh sebelum pemerintah Indonesia mendidik dan menyediakan lembaga pendidikan karakter. Organisasi perempuan Islam ini telah bekerja nyata untuk memajukan perempuan disaat perempuan dan kebebasan bangsa masih terpuruk di kaki kolonial. Tidak ada yang layak diungkapkan selain rasa syukur yang mendalam atas kiprah perempuan bangsa Indonesia sendiri.

 

Singkat cerita, perjuangan mendirikan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta yang diawali dengan rintisan Sekolah Bidan ‘Aisyiyah, kemudian Sekolah Perawat Bidan ‘Aisyiyah dan Sekolah Perawat Kesehatan --termasuk jenjang Sekolah Menengah pada tanggal 10 Juli 1963, menjadi Akademi Keperawatan ‘Aisyiyah pada tanggal 6 Juni 1991, selanjutnya menjadi Akademi Kebidanan ‘Aisyiyah sebagai konversi Akper ‘Aisyiyah pada 18 Mei 1998. Tidak berhenti sampai disini, pada tahun 2003 tepatnya pada tanggal 14 Oktober, Akademi Kebidanan ini berubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) ‘Aisyiyah. Melalui SK Kemenristek No.109/KTO/I/2016, tanggal 10 Maret 2016, STIKES ‘Aisyiyah resmi berubah menjadi Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta.

 

Dari serangkaian sejarah panjang pengelolaan lembaga pendidikan ini, melalui Surat Keputusan PP ‘Aisyiyah No.162/SK-PPA/A/VII/2017 telah ditetapkan bahwa hari jadi Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta (UNISA) adalah tanggal 23 Dzulqoidah 1411 H atau bertepatan dengan tanggal 6 Juni 1991.

 

Dengan berubahnya status menjadi Universitas, maka jayalah Aisyiyah, jayalah Unisa, jayalah masa depan!

 

 

Daftar Pustaka

 

Baha’uddin. (2010) “Perubahan dan Keberlanjutan: Pelayanan Kesehatan Swasta di Jawa Sejak Kolonial sampai Pasca Kemerdekaan”. Dalam Sri Margana & M. Nursam. Kota-kota di Jawa: Identitas Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Buku Panduan Peserta Muktamar 1 Abad Aisyiyah, 307 Agustus di Makasar. Diterbitkan oleh PP ‘Aisyiyah.

Syamsiyatun, Siti. 2016. Pergolakan Putri Islam: Perkembangan Wacana Gender dalam Nasyiatul ‘Aisyiyah 1965-2005. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Laporan Pimpinan Pusat Aisyiyah Periode 2010-2015. Disampaikan dalam Muktamar ke-47 Aatu Abad ‘Aisyiyah pada tanggal 3-7 Agustus 2015. 


Tags: UniversitasAisyiyahYogyakarta , PendidikanPerempuan
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : Sejarah Unisa

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website